Jumat, 29 Mei 2009

Dinamika Ajaran Terakhir

Muhammad Baqir Shadr


Sebagai hukum kehidupan, pergerakan dan dinamika mencakup seluruh aspek dzahir dan hubungan interaktif serta dialog manusia. Dinamika itu pula yang mengantarkan mereka kepada kemajuan atau kepada kemunduran. Dan kalau benar Islam ini agama universal yang peduli akan totalitas kehidupan manusia, tentunya ia harus menunjukkan sikap yang jelas terhadap gejala maju atau mundurnya perubahan itu. Jadi, permasalahanya cukup jelas, apakah sikap Islam?.


“Dan kami tidak mengutusmu kecuali untuk seluruh manusia sebagai pemberi harapan dan ancaman” (QS.34:28).

Islam adalah agama masyarakat dunia. Ia tidak diturunkan kepada bangsa manusia tertentu. Ia tidak terbatas pada satu kawasan bumi. Ia diturunkan hanya untuk seluruh umat manusia, di seluruh pelosok dunia.

“Ia tidak lain hanyalah dzikr “peringatan” bagi semua alam” (QS.67:52; 81:27).

Islam adalah agama terakhir untuk umat manusia. Mereka tidak akan lagi menerima misi dari langit selain misi Islam, sampai dunia ini menemui masa kehancurannya. Maka itu, nabi Islam adalah khotamul anbiya ‘nabi terakhir’ yang diutus Allah Swt.

“Sesungguhnya Muhammad bukanlah ayah seorangpun dari kalian, tetapi dia adalah rasul Allah dan yang terakhir dari para nabi” (QS.33:40).

Islam adalah agama yang peduli terhadap manusia dengan segenap kandungan potensi dan kapasitasnya; sebagai raga ataupun ruh; sebagai individu, kepala keluarga, ataupun anggota masyarakat; sebagai pengusaha yang mempertahankan hidup dan mencukupi kebutuhannya, ataupun budak yang tulus pada Tuhannya; sebagai penegak perdamaian di antara sesamanya ataupun pengobar api peperangan. Islam adalah agama yang mengatur dan mengelola semua aspek kehidupan.

Islam dan Realitas Kehidupan
Dalam pada itu, disepakati atau tidak bahwa kehidupan manusia sendiri tidak statis, tidak jumud, tetapi bergerak dan senantiasa dinamis dan berubah-ubah. Pergerakan dan perubahan ini mencakup seluruh sisi dzahir kehidupan manusia, sisi-sisi fisikal dan hubungan interaktif antarmanusia, serta dialog antarpikiran mereka. Sesungguhnya pergerakan dan perubahan itu pula yang mengantarkan makhluk-makhluk hidup dan aspek-aspek dzahir kehidupan mereka kepada kemajuan pada suatu saat, dan kepada kemunduran pada saat lain.

Dengan demikian, kalau benar Islam ini agama global yang memperdulikan kehidupan manusia dengan segenap aspeknya, tentunya ia harus menunjukkan sikap yang jelas dan tegas terhadap setiap perubahan yang mengarah pada kemajuan ataupun pada kemunduran. Jadi, permasalahanya cukup jelas, apakah sikap Islam?

Sekali lagi, Islam adalah agama terakhir umat manusia. Maka, ia abadi selama ada manusia yang tersisa di muka bumi ini. Kendati demikian, keabadian Islam tidak berarti bahwa agama ini selalunya mengambil sikap pasif, negatif atau curiga terhadap setiap perubahan yang terjadi pada umat manusia dan aspek-aspek kehidupannya. Islam bahkan berperan aktif, responsif dan positif di dalam semua itu. Islam akan menampung dan mengembangkan sekup dan skalanya jika perubahan itu benar-benar membantu manusia dan hidupnya untuk kemajuan dan pencerahannya. Begitu pula, Islam akan menolak dan melawan segala arus perubahan yang benar-benar memisahkan manusia dari tujuan-tujuan luhur yang dikehendaki oleh Allah swt untuknya.

Maka, Islam tidak membekukan kehidupan manusia dari segala bentuk, jalur, dan caranya, selama tidak melampaui batas-batas tertentu. Bahkan, ia memberikan kesempatan luas kepada manusia untuk melangsungkan pengembangan, pembangunan dan kemajuan.

Dua Macam Perubahan
Perubahan yang terjadi pada aspek-aspek dzahir kehidupan manusia kadangkala menyentuh alam materi yang menghampari manusia, dan kadangkala menyentuh tatanan sosial, ekonomi dan politik hidupnya.

Perubahan macam pertama tampak jelas pada usaha-usaha manusia jaman sekarang ini untuk kemajuan dan terobosan-terobosan luar biasa dalam tehnik-tehnik pemanfaatan dan pemberdayaan alam materi. Penguasaan dan eksploitasi manusia atas alam ini diusahakan guna melengkapi sarana-sarana hidup kesehariannya. Di sini, Islam tidak menunjukkan pandangan negatif terhadap kemajuan material yang dicapai manusia sekarang ini, bahkan mengajak manusia muslim untuk memanfaatkannya dan berpartisipasi serta berkreasi dalam bidang-bidangnya, karena kemajuan itu bukanlah musuh bagi perkembangan dan pembangunan peradaban.

Perubahan macam kedua terjadi pada tatanan-tatanan sosial, sistem-sistem ekonomi dan politik modern yang melahirkan peradaban Barat dan mengilhamkan serangkaian konsep ke dalam pikiran manusia di sana tentang dunia, kehidupan dan hakikat manusia.

Sikap Islam terhadap tatanan-tatanan tersebut, dengan segala perubahan dan pengubahan yang terjadi atas mereka, bukan penolakan mutlak, juga bukan perestuan mutlak. Karena, Islam adalah agama yang—sekali lagi—datang untuk menata semua aspek hidup. Untuk itu, segala perubahan yang terjadi pada kehidupan manusia dari sudut bidang-bidang tersebut mesti diajukan kepada prinsip-prinsip Islam, dan ditimbang oleh hukum-hukumnya yang berhubungan dengan bidang yang mengalami perubahan. Ketika itu, segala kasus dan isu yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam harus ditolak secara habis, tegas dan pasti. Adapun kasus atau isu yang sesuai dengan hukum–hukum Islam, atau tidak bertentangan dengannya –misalnya dalam suatu kasus yang tidak ditemukan batasan yang konkret dari sumber hukum, juga ia bukan berupa rincian dari prinsip Islam yang umum- maka Islam akan menyambutnya ahlan wasahlan setelah ia menuangkannya ke dalam wataknya yang islami dan mengisinya dengan ruh dan citranya yang khas.

Misalnya, Islam tidak mungkin menerima cara pandang Barat yang menekankan kebinatangan manusia, materialitas, seksualitas, legalitas riba, dsb. Akan tetapi, dalam Islam tidak ada sesuatu yang menghalangi kaum buruh dari cara mereka mengatur urusan diri sendiri, yakni mempercayakan urusan tersebut kepada suatu badan yang mereka bentuk untuk mengawasi dan menjamin kepentingan mereka.

Akar perbedaan sikap Islam di sini dengan sikapnya di sana ialah bahwa persepsi Barat mengenai permasalahan-permasalahan pertama itu bertolak belakang dengan hukum-hukum Islam, sementara mengenai permasalahan terakhir tadi, prinsip kebebasan pekerja dalam kerja dan usahanya merupakan prinsip utama dalam Islam. Prinsip inilah yang memberikan hak kepada pekerja untuk menggunakan sarana-sarana yang legal, sehingga memudahkannya dalam memperbaiki dan meningkatkan taraf hidupnya. Selama prinsip Islam dalam usaha itu adalah kebebasan, kita tidak berhak melarang demikian itu hanya karena kasus tersebut tidak pernah terjadi pada jaman Nabi Saw.

Ijtihad
Dalam pada itu, ijtihad—yaitu derajat pengetahuan yang tinggi tentang hukum-hukum Islam dan prinsip-prinsip umumnya dengan alat-alatnya yang khas—adalah sebuah perangkat yang disediakan untuk para faqih (ahli hukum) kaum muslim. Mereka menggunakan ijtihad ini untuk mengisi kehidupan manusia dengan karakter serta cirta islami, sejauh otoritas yang mereka miliki.

Dengan demikian, Islam ialah agama sepanjang jaman dan dinamis; ia abadi dan utuh dalam prinsip-prinsip dan hukum-hukumnya yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis yang otentik, ia dinamis dalam hukum-hukum tsanawiyyah (sekunder), yaitu hukum agama yang di dalamnya otoritas hukum (musyarri’) tidak menetapkan atas kita bentuk dan modus tertentu, juga (dinamis) dalam subjek-subjek yang mempunyai hukum umum yang mencakup segala macam bentuk dari suatu kasus.[ Sumber: Ma’alim Al-Madrasah: 1412 H: hal. 34-37. —Am]

Jumat, 06 Maret 2009

Studi Hadis “Terpecahnya Umat Menjadi 73 Firqah ( 1 )

Pro Dan Kontra Hadis Terpecahnya Umat Islam Menjadi 73 Firqah! (1)

SUMBER: abusalafy.wordpress.com

Oleh Abu Salafy

Demi terealisasinya percek-cokan di antara umat Islam, banyak pihak yang bersemangat menanamkan dalam hati dan pikiran kaum Muslimin dan menghembuskan isu terpecahnya umat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan, sementara yang selamat hanya satu golongan saja. Khususnya setiap kali muncul tanda-tanda menggembirakan adanya kesadaran akan pentingnya perasatuan.

Padahal hadis itu dari sisi sanad maupun kandungannya adalah batil. Hadis inilah di antara yang menyebabkan berjauhannya kelompok-kelompok umat Islam satu dengan lainnya.

Dalam kesempatan ini kami akan terpanggil untuk menguraikan kedudukan hadis ini dari sisi sanad dan matannya dan menjelaskan bahwa tidak semua perbedaan itu terkecam dan tercela dan tidaklah sepatutnya berbedaan dalam furû’ masalah agama menjadikan saling berpecah, bermusuhan dan saling menyesatkan.

Nash hadis tersebut adalah demikian:

افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة ، وتفرَّقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة.

“Kaum Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan. Kaum nashrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan nashrani terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” [1]

Hadis ini telah diriwayatkan dari berbagai jalur, di bawah ini akan kami sebutkan dengan ringkas berikut komentar tentang kondisi dan statusnya:

(1) Hadis ini diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfû’. Pada jalurnya terdapat perawi bernama Muhammad ibn ‘Amr ibn ‘Alqamah, ia dha’if/lemah.

Yahya ibn Sa’id dan Imam Malik berkata:

ليس هو ممن تريد

“Ia bukan yang engkau buru.”

Ibnu Hibbân berkata:

يخطىء

“Ia sering salah.”

Yahya ibn Main berkata:

ما زال الناس يتقون حديثه

“Orang-orang senantiasa menjauhi hadisnya.”

Ibnu Sa’id juga berkata:

يُسْتَضْعَف

“Ia dilemahkan.”

(2) Hadis ini diriwayatkan juga dari Mu’awiyah secara marfû’. Pada sanadnya terdapat Azhar ibn Abdullah al Huzani –gembong Nawâshib yang tak henti-hentinya mencela dan melecehkan Imam Ali ra., selain itu ia banyak cacat dan celanya-.

Al Azdi berkata, “Para ulama rijâl mencacatnya dan Ibnu al Jârûd memasukkannya dalam kitab adh Dhu’afâ’-nya.”

(3) Hadis ini diriwayatkan juga dari Anas ibn Malik dari tujuh jalur yang semuanya dha’if/lemah, di antara perawinya ada yang kadzdzâb/pembohong besar atau wadhdhâ’/pemalsu hadis atau majhûl/yang tidak dikenal identitas atau kualitas kepribadiannya. [2]

(4) Hadis ini diriwayatkan juga dari ‘Auf ibn Malik secara marfû’. Dan pada sanadnya terdapat Abbâd ibn Yusuf, ia seorang yang dha’if/lemah. Adz Dzahabi memasukkannya dalam daftar parawi lemah dengan nomer urut:2089. [3]

(5) Hadis ini diriwayatkan juga dari Abdullah ibn ‘Amr ibn al ‘Âsh secara marfû’ dalam riwayat at Turmudzi dalam Sunan-nya. Dalam sanadnya terdapat Abdurrahan ibn Ziyâd al Ifrîqi. Ia dha’if/lemah.

(6) Hadis ini diriwayatkan juga dari Abu Umamah secara marfû’ dalam riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab as Sunnah. Pada sanadnya terdapat Quthn ibn Nasîr, ia adalah perawi dhaif dan munkarul hadis/sering terbukti membawa hadis munkar.

(7) Hadis ini diriwayatkan juga dari Abdullah ibn Mas’ud secara marfû’, sebagaimana dalam kitab as Sunnah. Dan pada sanadnya terdapat Aqil al Ja’di. Ibnu Hajar berkata, ‘Bukhari berkata, ‘Ia munkarul hadis/sering terbukti membawa hadis munkar.’” [4]

(8) Hadis ini diriwayatkan juga dari Imam Ali ra., seperti dalam kitab As Sunnah,2/467 hadis no.995. dan dalam sanadnya terdapat Laits ibn Abi Sulaim, ia lemah/dha’if. Kualitasnya sudah dikenal di kalangan para ulama. Ibnu Hajar berkata, “Ia kacau sekali hafalannya sehingga tidak mampu memilah, karenanya ia ditinggalkan.” [5]

Ini dari sisi sanadnya, adapun dari sisi matan dan kandungannya dapat dipastikan ia adalah hadis batil, terlepas dari tambahan yang ada di akhirnya apakah ia:

كلها في النار إلا واحدة

“Semuanya di neraka kecuali satu golongan saja.”

atau:

كلها في الجنة إلا واحدة

“Semuanya di surga kecuali satu golongan saja.”

Terlepas dari itu semua dapat dipastikan hadis tersebut batil, dengan alalan-alasan di bawah ini:

1) Allah berfirman:

{ كنتم خير أمة أخرجت للناس }

“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dipersembahkan untuk umat manusia.”

dan ayat:

{ وكذلك جعلناكم أمة وسطاً }

“Dan demikianlah kami jadikan kalian umat yang pertengahan.”

Ayat-ayat di atas menegasklan bahwa umat Islam adalah sebaik-baik umat dan ia adalah pertengahan, awsath, yaitu paling afdhal dan mulianya umat. Sementara hadis-hadis di atas mengatakan kepada kita bahwa Umat Islam adalah sejelek-jelak umat, paling bejat, dan paling rusak dan termakan fitnah. Kaum Yahudi hanya terpecah menjadi 71 golongan. Begitu juga kaum Nashrani terpecah menjadi 72 golongan. Sementara itu, datanglah umat Rasulullah saw. yang paling mulia justru terpecah menjadi 73 golongan!

Jadi, makna hadis itu adalah batil berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an yang menegaskan keunggulan dan keafdhalan umat Islam!

2) Yang mendukung kebatilan hadis itu adalah bahwa setiap yang mengarang buku tentang firaq/golongan-golongan menyebutkna nama golongan yang berbeda dengan yang disebut oleh penulis lainnya. Dan setiap sa’at bermunculan golongan baru, sehingga membatasinya hanya pada jumlah 73 golongan adalah hal yang tidak dapat diterima.

Sebagai contoh kecil, coba Anda perhatikan yang ditulis oleh Abdul Qahir al Baghdadi dalam kitab al Farqu baina al Firaq (Perbedaan antara Golongan-golongan), ia menyebutkan 73 golongan, sementara itu setelah masa beliau hingga hari ini bermunculan firqah/golongan yang jauh lebih banyak dari yang ia sebutkan. Adapun anggapan bahwa firqah yang akan muncul itu tidak kelaur dari bingkai umum yang sudah ada adalah anggapan tidak berdasar, kenyataan pun menolaknya.

(Bersambung)

_________________________________

[1] HR. Imam Ahmad dalam Musnad,2/332 dan lainnya, Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya hadis no.3993
[2] Baca Shahih Syarhi ath Thahâwiyah; Hasan as Seqaf:317.
[3] Baca Dîwân adh Dhu’afâ’.
[4] Lisân al Mîzân,4/209.
[5] At Taqrîb dengan no.5685.

Studi Hadis “Terpecahnya Umat Menjadi 73 Firqah ( 2 )

Pro Dan Kontra Hadis 73 Firqah (2)

SUMBER: abusalafy.wordpress.com

Oleh Abu Salafy

3) Hadis ini, khususnya versi dengan tambahan yang menjadi pegangan kaum Mujassimah (yang meyakini Allah berpostur seperti makhluk) dan kaum Nawâshib (Pembenci keluarga Rasulullah saw.) yaitu dengan tambahan;

كلهم في النار إلا واحدة

“Semua di neraka kecuali satu kelompok saja.”

Hadis dengan versi di atas bertentangan dengan hadis-hadis lain yang sangat banyak jumlahnya yang menegaskan bahwa siapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw. adalah Rasul utusan Allah, maka tetap baginya surga walaupun ia harus melalui proses siksa kerena dosa yang pernah ia lakukan di dunia. Di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya.

إنَّ الله قد حرَّم على النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله

“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka menyentuh orang yang berkata,‘Tiada Tuhan selain Allah’ dengan tulus, tidak mengharap selain kerelaan Allah.” [1]

Dan dalam redaksi Imam Muslim dalam Shahih-nya , 1/63 :

لا يشهد أحد أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فيدخل النار أو تطعمه.

“Tiada seorang bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Aku adalah Rasul utusan Allah, lalu ia masuk neraka atau dilalap api nereka.”

Firqah yang berbeda-beda itu tidak banyak yang dapat dengan pasti dihukumi telah kafir akibat bid’ah yang diyakininya, adapun mayorits dari firqah-firqah itu, seperti Mu’tazilah dan lainnya, tidak dapat dihukumi kafir dan keluar dari Islam akibat perbedaan yang ada, seperti yang dipaksakan oleh sebagian orang yang cupet dan sempit wawasannya! Lalu bagaimana mereka divonis masuk neraka?! Karenanya, sebagian ulama kita, seperti Imam al-Baihaqi dan lainnya menukil ijmâ’ para imam dari kalangan Salaf dan Khalaf bahwa dibolehkan shalat bermakmum di belakang seorang beraliran Mu’tazilah, begitu juga shah pernikahan dengan mereka dan berlaku bagi mereka hukum waris Islami. [2]


4) Matan hadis berpecahnya umat Islam menjadi 73 firqah ini mudhtharib, kacau. Dalam sebagian jalurnya disebutkan demikian:

ألا وإنَّ هذه الأمة ستتفرق على ثلاث وسبعين فرقة في الأهواء

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah dalam hawa nafsu.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim: 69).

Dalam sebagiannya:

فواحدة في الجنة واثنتان وسبعون في النار

“… maka yang satu masuk surga dan 72 lainnya di neraka.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim:63

pada sebagiannya:

لم ينج منها إلا ثلاث

“… Tidak ada yang selamat keculai tiga fiqrah.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim:71)

pada sebagiannya:

كلها في النار إلا السواد الأعظم

“… semua di neraka kecuali as-Sawâd al A’dzam (mayoritas).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim:68)

dan dalam riwayat Ibnu Hibbân,15/125:

إنَّ اليهود افترقت على إحدى وسبعين فرقة أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى على مثل ذلك.

“Sesungguhnya kaum Yahud berpecah menjadi 71 firqah atau 72 firqah, dam kaum Nashrani juga seperti itu.”

Semantara sebagian lainnya mempermaikan lebih lagi redaksi hadis itu dengan menambahkan pada akhirnya kalimat:

من أخبثها الشيعة

“Yang paling jelek adalah Syi’ah.”

Sementara lainnya menambahkan:

شرهم الذين يقيسون الأمور بآرائهم

“… Yang paling jehat adalah mereka yang mengiaskan perkara dengan pendapat pribadi mereka.”Sebagai kecaman yang mereka tujukan kepada para pengikut Imam Abu Hanifah.

Dalam sebagian riwayat lainnya:

كلهم في الجنة إلا القدرية

“Semuanya masuk surga kecuali Qadariyah.”

Dalam sebagian riwayat lainnya:

إلا الزنادقة

“Kecuali kaum Zindiq.”Demikianlah seterusnya!! Semua itu adalah kepalsuan dan kebohongan semata atas Nabi Mulia Muhammad saw.

Jika Anda cermati redaksi-redaksi seperti di atas itu, pasti Anda dapat mengerti dari mana datangnya hadis-hadis seperti itu, dan di pabrik mana diproduksi.

5) Dan pada sebagian redaksinya, seperti dalam riwayat at-Turmudzi dalam Sunan-nya,5/26 dari Abdullah bin ‘Amr disebutkan:

كلهم في النار إلا ملة واحدة ، قالوا ومن هي يا رسول الله قال : ما أنا عليه وأصحابي

“Semuanya masuk neraka, kecuali satu millah. Mereka bertanya, ‘Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?’ beliau menjawab, ‘Yaitu apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.” [3]

Dan dalam riwayatkan lain:

ما عليه الجماعة.

“Yaitu apa yang dijalani oleh jama’ah.”Ucapan di atas adalah ucapan batil dari banyak sisi:

Dari sisi sanad, semuanya lemah, dha’if, seperti telah disebutkan sebelumnya.

Redaksi: ‘Yaitu apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. Tidak mungkin disabdakan oleh Nabi mulia saw. dengan banyak alasan, kami hanya akan sebutkan satu saja darinya: Sesungguhnya para sahabat telah berpecah di masa kekhalifahan Khalifah keempat, Sayyidina Ali –Karramallahu wajhahu- menjadi tiga kelompok; satu kelompok mendukung Sayyidina Ali, yaitu kelompok yang berada di atas haq berdasarkan nash-nash yang shahih dan tegas. Kelompok kedua, tidak mendukung Sayyidina Ali; Khalifah keempat, tetapi mereka juga tidak mendukung yang memerangi Sayyidina Ali ra., sebagian anasir kelompok di kemudian hari menyesali sikap pasifnya. Dan ketiga, adalah kelompok yang bergabung bersama Mu’awiyah pemimpin kaum pemberontak yang memerangi Khalifah yang sah. Kelompok ini adalah kelompok bâghiyah yang terkecam berdasarkan riwayat Imam Bukhari dalam Shahih-nya:1/541 dan 6/30 dan Imam Muslim dalam Shahih-nya: 4/2235 hadis 2915.

Nabi saw. bersabda:

عمــار تقتله الفئة الباغية يدعوهم إلى الجنة ويدعونه إلى النار

“Ammâr akan dibunuh oleh fi’ah (kelompok) Bâghiyah (yang memberontak tanpa dasar syar’i). Ammâr mengajak mereka menuju surga tetapi mereka mengajak Ammâr menuju neraka.” (HR. Bukhari) [4]

Jadi berdasarkan hadis berpecahnya umat menjadi 73 firqah dengan tambahan bahwa yang selamat adalah: ‘Yaitu apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.’ Dengan kelompok sahabat yang mana yang dipastikan selamat oleh hadis itu?!

Kami perlu katakan di sini, bahwa hadis berpecahnya umat menjadi 73 firqah inilah yang memicu sikap-sikap permusuhan di antara umat Islam, sehingga mareka saling menjauh dan berkeyakinan bahwa kelompok yang berbeda dengannya adalah ahli nereka. Hadis-hadis itu adalah batil, dan tangan-tangan jahat bani Umayyah berperan dalam mengukir kepalsuan itu!

Kami tidak mengingkari bahwa telah terjadi perpecahan di tengah-tengah umat ini dan telah mermunculan firqah-firqah yang saling bertentangan. Akan tetapi kami tidak setuju dengan penyebutan bilangan dan menghitungnya menjadi 73 firqah. Dan kami mengingkari klaim bahwa surga hanya menjadi monopoli satu firqah saja, selainnya adalah penghuni nereka jahannam!

Ini semua, akan memperkeruh perselisihan dan mempertajam perbedaan, sebab semua akan masuk nereka yang masuk surga hanya satu!! Sekali lagi, poin ini yang kami tolak!

(Besambung)

_____________________

CATATAN KAKI

[1] Baca Fathu al-Bari. 3/81 hadis no. 1186

[2] Baca: Mughni al Muhtâj,4/135.

[3] Sunan at-Turmudzi

[4] Dalam hadis di atas, Nabi saw. menyebut kelompok Mu’awiyah sebagai kelompok yang menganjurkan kepada api neraka! Lalu mungkinkah kelompok ini yang akan dijamin masuk surga dan yang dibanggakan Nabi saw. dalam riwayat: ‘Yaitu apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya

Studi Hadis “Terpecahnya Umat Menjadi 73 Firqah ( 3 )

Pro dan Kontra Hadis 73 Firqoh (3)

SUMBER: abusalafy.wordpress.com

Oleh Abu Salafy

Pebedaan dan Perpecahan di tengah-tengah Umat Islam.

Adapun tentang perbedaan di antara mazhab-mazhab dan firqah-firqah seputar masalah-masalah furû’ (rincian), baik furû’ dalam akidah maupun furû’ dalam fikih atau masalah-masalah lain, itu semua tidak menyebabkan dibolehkannya bermusuhan, berpecah dan saling menohok. Apa yang dilakukan sebagian orang di masa lalu dan juga sekarang, dengan bersekutu dengan musuh-musuh Allah; saling bermesraan dan mendukung, sementara perbedaan kita dengan mereka itu adalah sangat mendasar dalam dasar,ushûl akidah. Tetapi sangat disayangkan, sebagian dari kita memandang saudara seagamanya sebagai musuh yang harus dieyahkan. Semua ini membuktikan kebodohan tentang agama dan keyakinan tidak lain, atau berkuasanya hawa nafsu dan syahwat jahat dalam jiwa serta kecintaan kepada dunia, atau kerana kedua sebab di atas! Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari kejahatan itu, amîn.

Imam ar-Râghib al-Ishfahâni dalam kitab al-Mufradât-nya menjelaskan:

الاختلاف والمخالفة أن يأخذ كل واحد طريقاً غير الآخر في حاله أو قولـه ، والخلاف أعم من الضد لأنَّ كل ضدين مختلفان وليس كل مختلفين ضدين ، ولما كان الاختلاف بين الناس في القول قد يقتضي التنازع استعير ذلك للمنازعة والمجادلــة.

“Kata الاختلاف والمخالفة maknanya ialah setiap orang mengambil jalan yang berbeda dengan jalan lainnya, dalam keadaan dan pendapatnya. Kata الخلاف memiliki makna lebih umum dari kata الضد (lawan), sebab setiap yang berlawanan pasti berbeda, tetapi tidak setiap yang berbeda itu berlawanan. Dan kerena perbedaan di antara manusia dalam pendapat itu menyebabkan perselisihan, maka kata الاختلاف dipinjam untuk makna perselisihan dan perdebatan.”

Jadi الاختلاف (perbedaan) itu ada yang sah-sah saja dan bahkan terpuji, dan ada juga yang tercela dan dilarang. Dalam Al Qur’an dan Sunnah yang shahihah kedua bentuk itu telah disitir. Di bawah ini, kami akan sebutkan masing-masing dari bentuk الاختلاف itu.

A) Nash-nash yang memuat dibolehkannya ikhtilâf:

Allah Swt. berfirman:

فَهَدَى اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا لِمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَ اللهُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

Maka, Allah menunjukkan orang-orang yang beriman dengan izin-Nya kepada (hakikat) kebenaran yang telah mereka perselisihkan itu. Dan Allah selalu menunjukkan orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (al-Baqarah: 213)

ما قَطَعْتُمْ مِنْ لينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوها قائِمَةً عَلى أُصُولِها فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَ لِيُخْزِيَ الْفاسِقينَ

Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang- orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang- orang fasik. (al-Hasyr: 5)

Dan para sahabat berselisih tentang memotong pohon-pohon dan merobohkan rumah-rumah kaum yahudi bani Nadhîr. Sebagian dari mereka memotong pohon-pohon dan merobohkan rumah-rumah, sementara yang lainnya tidak.

Imam al Mawardi berkata, “Sesungguhnya ayat ini adalah dalil bahwa setiap mujtahid itu benar. Demikian dinukil oleh al Qurthubi dalam tafsirnya,18/8.

Allah Swt. berfirman:

وَ داوُدَ وَ سُلَيْمانَ إِذْ يَحْكُمانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَ كُنَّا لِحُكْمِهِمْ شاهِدينَ * فَفَهَّمْناها سُلَيْمانَ وَ كُلاًّ آتَيْنا حُكْماً وَ عِلْماً

“Dan ( ingatlah kisah ) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing- kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing- masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu.” (QS. Al Anbiyâ’:78-79)

Masing-masing dari dua nabi as. Tersebut telah berselisih dalam ketetapan hukum mereka. Yang satu menetapkan hukum yang berbeda dengan yang lainnya.

Dalam Shahih Bukhari,2/436 ada sebuah riwayat dari Ibnu Umar, ia berkata, “Nabi saw. besabda kepada kami sepulang dari perang al Ahzâb [Khandaq]:

لا يصلينَّ أحدٌ العَصْرَ إلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَة.

“Jangan ada seorang pun yang shalat ashar kecuali di kampung bani Quraidhah.”

Lalu sebagian dari mereka menemui waktu ashar di tengah jalan, sebagian dari mereka berkata, ‘Kami tidak akan shalat sebelum kita sampai di sana.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Kita shalat saja di sini, Nabi tidak bermaksud seperti yang kamu pahami. Setelah itu mereka melaporkan kejadian itu kepada Nabi saw., dan beliaupun tidak bersikap kasar kepada mereka semua. Dan tentunya beliau tidak akan membiarkan kebatilan!!

Juga dalam Shahih Bukhari,9/101 hadis no.5062 dari Ibnu Mas’ud, ia mendengar seorang membaca ayat yang berbeda dengan yang ia dengar langsung dari Nabi saw., ia berkata, ‘Maka aku pegang dia dan aku bawa menemui Nabi saw., kemudian beliau bersabda:

كِلاَكُمَا مُحْسِنٌ.

“Kalian berdua telah berbuat baik.”

Imam Bukhari dalam Shahihnya hadis no.7352, dan Muslim dalam Shahihnya, hadis no.1716 meriwayatkan dari Nabi saw.:

إذا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإذَا حَكَمَ فاجتهد ثمَّ أَخْطَأَ فله أجْرٌ .

“Jika seorang hakim menetapkan hukum lalu ia benar maka baginya dua pahala, dan jika seorang hakim menetapkan hukum dan ia bersunguh-sungguh dalam menetapkannya lalu ia salah maka baginya satu pahala.”

Ini bukti bahwa para ulama yang saling berselisih pendapat itulah yang dimaksud dengan sabda beliau: seorang hakim di atas, yaitu seorang faqîh/ ahli fikih yang mujtahid yang memiliki kelayakan dan kemapmpuan dalam meneliti hukum dari sumbernya. Jika ia akan dieberi pahala dalam usahanya itu baik ia benar ataupun salah dalam upayanya mengungkap hukum, sebab motivasi dan tujuannya adalah mencapai kebenaran hukum dan mencari keridhaan Allah. Kendatipun ia berselisih pendapat dengan seorang mujtahid lain dalam menetapkan sebuah hukum ia akan diberi pahala!!

Para sahabat telah berselisih… para pembesar ulama yang disepakati keagungan dan ketaqwaan mereka telah berselisih dalam banyak masalah. Dan itu tidak dapat diajadikan bukti bahwa mereka semua berada di atas kesesatan!!

B) Nash-nash yang Mengharamkan Perselisihan:

Allah Swt. Berfirman:

َان الدين عند الله الأسلام و مَا اخْتَلَفَ الَّذينَ أُوتُوا الْكِتابَ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang- orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.” (QS. Âli Imrân;19)

وَ لا تَكُونُوا كَالَّذينَ تَفَرَّقُوا وَ اخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْبَيِّناتُ وَ أُولئِكَ لَهُمْ عَذابٌ عَظيمٌ

Dan janganlah kamu menyerupai orang- orang yang bercerai- berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang- orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Alu Imrân;105 ).

وَ اعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَميعاً وَ لا تَفَرَّقُوا

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.“ (QS. Ali Imrân;103 )

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Huirairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda:

ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كان قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِم وَاخْتِلاَفِهِم عَلَى أنْبِيائِهِم، فَإذَا أَمَرْتُكُم بِشَيْءٍ فَأتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وإذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَدَعُوْهُ.

“Biarkan kau selama aku membiarkan kalian, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian itu binasa dikarenakan mereka banyak bertanya dan menyalahi para nabi mereka. Karena itu apabila aku perintah kalian dengan sesuatu, maka kerjakan semampu kalian dan apabila aku larang kalian maka tinggalkan.” (HR. Bukhari & Muslim)

Tolok Ukur Perberdaan Yang masih Ditolerir dan Yang Dilarang

Kita dapat menyimpulkan dari ayat di bawah ini:

وَ مَا اخْتَلَفَ الَّذينَ أُوتُوا الْكِتابَ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ

“Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.” ( QS. Ali Imrân;19 (

bahwa unsur perbedaan dan perselisihan yang terkecam sebenarnya adalah al baghyu (kedengkian)!! Jika ada keikhlasan, kejujuran dan hati bersih dari kebencian, rasa hasud, zalim, cinta kedudukan, ingin tampil menang dan menekan lawan, dan hati ini menjadi sentral kepedulian kepada kemajuan dan kemaslahatan agama dan menegakkan Kalimatullah, berbelas kasih kepada sesama kaum Muslimin dan usur-unsur lain yang menekan sikap al baghyu (kedengkian) maka perbedaan pendapat boleh-boleh saja terjadi! Dengan catatan tidak keluar dari bingkai agama, syari’at, ketetapan aturan bahasa dan kaidah-kaidah yang ditetapkan di kalangan para ulama. Apabila unsur-unsur itu tidak terpenuhi maka ia diharamkan, sebab ia akan menyebakan keharaman yang lebih besar yaitu perpecahan, permusuhan dan terkotak-kotak menjadi puak-puak dan golongan-golongan yang saling bermusuhan.

Allah berfriman:

وَ إِنَّ هذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَ أَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ* فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُراً كُلُّ حِزْبٍ بِما لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ* فَذَرْهُمْ في غَمْرَتِهِمْ حَتَّى حينٍ

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada- Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap- tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing- masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.” (QS. Al Mu’minun; 52-54)

Dan ketika didapati berdasarkan bukti akurat bahwa perbedaan itu dimotivasi oleh hawa nafsu atau mencari-cari cela untuk mendapat kemudahan karena dorongan nafsu atau kerakusan mendapat dunia yang menyalahi inti tujuan Islam yaitu ridha Allah Swt. Atau menyalahi prinsip berkhidmad untuk membela dan memelihara agama. Atau si penentang itu jauh dari niatan baik mencari titik temu, berlemah lembut dan menabur rahmat untuk umat … jika itu yang memotivasi maka perselisihan yang terjadi adalah tercela dan pelakunya akan merugi. Dan dalam kondisi ini tidaklah benar kita mendukung atau membela pendapat itu.

Bisa jadi dua orang berbeda pendapat tetapi keduanya tercela dan berdosa. Allah Swt. berfirman:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ نَزَّلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَ إِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِي الْكِتَابِ لَفِيْ شِقَاقٍ بَعِيْدٍ

“Semua itu karena Allah telah menurunkan al-Kitab dengan membawa kebenaran, dan orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) al-Kitab itu, mereka berada dalam penyimpangan yang jauh.” (QS.al Baqarah [2];167)

Dan:

وَ قالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَ قالَتِ النَّصارى الْمَسيحُ ابْنُ اللَّهِ ذلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْواهِهِمْ يُضاهِؤُنَ قَوْلَ الَّذينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ.

“Orang- orang Yahudi berkata:” Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata:” Al Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang- orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah- lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling.” (QS. At taubah [9]:30)

Ayat-ayab di atas jelas sekali menunjukkan bahwa kedua kelompok yang saling berbeda itu berada di atas kesesatan dan kekafiran.

Bisa jadi dua orang berselisih, tetapi yang satu berada di atas kebenaran sedangkan yang satunya berada di atas kesesatan.

Allah Swt. berfiman:

وَ لَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِّنْ بَعْدِ مَا جَاءتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَ لَكِنِ اخْتَلَفُوْا فَمِنْهُمْ مَّنْ آمَنَ وَ مِنْهُمْ مَّنْ كَفَرَ وَ لَوْ شَاءَ اللهُ مَا اقْتَتَلُوْا وَ لَكِنَّ اللهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيْدُ

“Seandainya Allah menghendaki, niscaya orang-orang yang datang setelah mereka itu tidak akan saling berperang (dan bertikai) setelah tanda-tanda yang jelas itu datang kepada mereka. Akan tetapi, mereka saling berselisih; sebagian ada yang beriman dan sebagian ada yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan saling berperang. Akan tetapi, Allah akan melakukan apa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al Baqarah [2];253)

Boleh jadi ada dua orang berselisih, namun demikian keduanya berada diatas keberanan dan petunjuk Allah, seperti telah disinggung sebelumnya ketika nabi membenarkan kedua kelompok yang berbeda sikap tentang shalat Ashar dalam perjalanan mereka ke kampung bani Quraidhah dan dalam bacaan Al-Qur’an di mana beliau mengatakan bahwa kalian berdua muhsinun, berbuat baik.

Apa yang Harus Dilakukan Ketika Terjadi Perbedaan dan Perselisihan Dalam Pendapat?

Allah Swt berfirman:

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَطيعُوا اللَّهَ وَ أَطيعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ في شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَ الرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ ذلِكَ خَيْرٌ وَ أَحْسَنُ تَأْويلاً.

“Hai orang- orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah( Al Qur’an ) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS. An Nisâ’ [4];59)

Yang dimaksud dengan Ulul Amri dalam ayat tersebut adalah ulama’ yang mendalami agama. Al Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya,5/259:

قال جابر بن عبدالله ومجاهد {أولو الأمر} أهل القرآن والعلم وهو اختيار مالك رحمه الله ، ونحوه قول الضحاك قال : يعني الفقهاء والعلمـاء في الديــن .

Jabir bin Abdilah dan Mujahid berkata, “Ulul Amri adalah Ahli Al Qur’an. Pendapat ini dipilih Imam Malik (rh). Dan pendapat serupa disampaikan oleh Dhahhak, ia berkata, “Yang dimaksud adalah para faqih dan ulama yang mendalami agama.”

Setelahnya ia berkata:

أمر الله تعالى بردِّ المتنازَع فيه إلى كتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم وليس لغير العلماء معرفة كيفية الرد إلى الكتاب والسنة ، ويدل هذا على صحة كون سؤال العلماء واجباً وامتثال فتواهم لازما.

“Allah memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Al-Kitab (Al Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya saw., dan selain para ulama tidaklah mengerti cara mengembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ini menunjukkan bahwa bertanya kepada ulama itu wajib hukumnya dan menjalankan fatwanya adalah kelaziman.”

Oleh karena itu, ketika terjadi perselisihan dalam pendapat, yang harus dilakukan adalah bertanya dan mencari tau, bukan menjauh dan meninggalkan seluruh pendapat yang diperselisihkan. Kewajiban yang harus dilakukan adalah meneliti pendapat masing-masing dan kemudian bersungguh-sungguh dalam memilih mana yang terdekat dengan kebenaran lalu dikemukakan. Dan apabila telah dieketahui mana yang benar, maka harus didukung dan dibela. Jika kebenara bukan pada kedua pendapat yang sedang berselisih maka juga harus diterangkan dengan cara yang bijak.

Allah berfirman:

وَ إِنْ طائِفَتانِ مِنَ الْمُؤْمِنينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُما

“Dan jika ada dua golongan dari orang- orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.”(QS. Al Hujurât [49];9)

Islâh itu baru dapat dilakukan setelah mengetahui mana yang bener dan mana yang salah!

Allah berfirman:

فَإِنْ بَغَتْ إِحْداهُما عَلَى الْأُخْرى فَقاتِلُوا الَّتي تَبْغي حَتَّى تَفيءَ إِلى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُما بِالْعَدْلِ وَ أَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطينَ

“Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berlaku adil.” (QS. Al Hujurât [49];9)

Coba perhatikan bagaimana Allah memerintahkan umat Islam agar tidak membiarkan pertikaian yang terjadi di antara dua kelompok umat Islam yang muncul akibat perbedaan, akan tetapi Allah memerintahkan agar umat Islam membela yang benar dan melawan yang salah dan memaksanya untuk kembali kepada kebenaran dan terus melakukan desakan hingga kelompok bâghiyah (pembangkang) itu mau kembali kepada jalan kebenaran.

Jika mereka mau kembali maka lakukanlah islâh.

Allah memrintahkan kita untuk menghilangkan permusuhan dan persengketaan, sebagaimana Allah juga memerintah agar kita tunduk kepada kebenaran dan mengajak seluruh lapisan umat untuk menerima kebenaran dan apabila kelompok pembangkang telah kembali kepada kenebaran maka wajib hukumnya menebar kedamaian, dan harus saling kasih mengasihi. Dan ini adalah bukti kuat mendukung apa yang kami tegaskan.

Membela kelompok yang berada di atas kebenaran tidak mesti harus saling bertemu secara fisik, sebab boleh jadi hal itu tidak dapat dilakukan, akan tetapi yang wajib dilakukan ialah membela konsep dan pemikiran kelompok yang benar dan menjabarkannya kapada manusia, baik dengan ceramah, menulis buku atau lain sebagainya.

(Selesai)

Kamis, 05 Maret 2009

situs sumber >>>

http://secondprince.wordpress.com/

Fikih Berwawasan Etika

Ditulis pada Juli 14, 2007 oleh kajianislam

Kamis, 05 Juli 2007

Fikih Berwawasan Etika

Oleh :

Said Aqiel Siradj
Ketua PBNU

Fikih pada mulanya mempunyai arti lebih luas dari yang umumnya dipahami saat ini. Semula, sesuai dengan arti lughawi-nya, fikih bermakna al fahmu, paham atau mengetahui. Memahami atau mengetahui baik yang berkaitan dengan urusan tauhid/teologi, tasawuf/akhlak, maupun hukum. Namun, kemudian akibat perkembangan ilmu dan pergumulan pemikiran, fikih menciut artinya dari yang semula mencakup aspek teologis, akhlak dan hukum, kepada perihal hukum saja. Akibatnya, fikih lebih bernuansa legal-formal, daripada etis atau sosial. Sebab, sifat hukum adalah mengikat/memaksa. Inilah kemudian yang menyebabkan fikih terkesan rigid, kaku, tidak fleksibel. Dalam arti fikih kehilangan wawasan etisnya.

Wawasan etik
Fikih sendiri sebagai salah satu produk manusia, tentunya tidak terlepas dari sifat pengetahuan atau ilmu yang menerima pengembangan lebih lanjut. Ia tidaklah absolut, namun nisbi. Artinya, fikih dapat dikritik bahkan dirombak total, akibat tidak selaras lagi dengan misi pembebasan manusia (rahmatan li al `âlamîn).

Inilah faktor yang merupakan kelemahan dasar dalam memandang agama selama ini. Islam hanya dipandang semata-mata sebagai teks verbal dan bukan pada wawasan etiknya. Gagasan untuk menyatukan kembali antara fikih dan etika atau fikih dan teologinya pernah dilontarkan Fazlurrahman, seorang pemikir Islam progresif. Gagasan untuk menyatukan kembali antara fikih dan wawasan etis ini penting, sebab, sepertinya fikih itu asyik kita geluti sebagai yang terpisah atau terisolasi dari wawasan etis (wawasan yang bersifat etika) yang merupakan landasan etis dari fikih itu sendiri.

Dengan kata lain, untuk memperbarui pemahaman Islam, khususnya fikih, adalah dengan menghidupkan kembali wawasan etik ini. Oleh karena itu, agar fikih dapat memberikan jawaban yang selaras dengan cita-cita kemanusiaan, sangat perlu dibangun sebuah fikih yang berwawasan etis atau melandaskan fikih pada maqashid syari’ah (tujuan diterapkannya suatu hukum).

Maqashid syari’ah telah dikenal luas dalam ushul al fiqh. Namun, pengembangan maqashid, dalam bentuk contoh-contoh konkret dalam konteks kekinian masih sangat terbatas dan belum begitu luas. Misalnya dalam menanggapi masalah prostitusi. Bagaimana fikih melihat masalah ini dalam konteks negara. Dalam hal ini, bukan sekadar menelorkan keputusan hukum/fatwa haram, tapi bagaimana memandang masalah prostitusi berkaitan dengan masalah sosial dan ekonomi. Bila sekadar fatwa haram kemudian berujung pada pemberantasan dan pemusnahan prostitusi, tentu kurang etis. Tapi bagaimana meminimalisasi praktik prostitusi besar-besaran dengan bentuk penyediaan lapangan pekerjaan dan memberikan pelatihan kerja dengan intensif.

Dengan melihat faktor di balik praktik prostitusi itu, kita akan melahirkan semisal bentuk lokalisasi dan pembinaan kerja pada para pelacur. Maslahat yang tampak adalah tidak mematikan kerja mereka secara ‘kejam’, tapi meminimalisasi dan berusaha mengalihkan kepada bentuk kerja yang lebih bermartabat dan menjanjikan. Jadi, hukum fikih dalam kasus tersebut menjadi bisa bernuansa humanis, membebaskan, dan transenden/bermartabat. Ini visi fikih etis, dengan mendasarkan pada metode maslahat.

Satu contoh lagi misalnya, bagaimana fikih memandang masalah korupsi dan hukumannya. Jika mendasarkan pada wawasan etis, maka korupsi dihukumi sebagai kejahatan besar/dosa besar karena merugikan masyarakat dan bahkan negara. Hukumannya pun bisa melebihi pencurian. Bukan cuma dengan hukum menakutkan, tapi misalnya bila kelak mati, jasadnya jika ia Muslim tidak dishalati. Tapi bagaimana sebelum ajalnya, ia telah merasakan sanksi hukuman yang tegas. Di mana hal ini bisa menjadi pelajaran baginya agar tidak mengulangi dan bagi orang lain agar tidak mencontohnya. Ini bila dijalankan secara serius akan membawa ketenteraman dan bisa menciptakan good governance dan memberi secercah harapan akan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Dampak yang diakibatkan tindakan korupsi sangatlah luas.

Jadi, memperhatikan hal tersebut berupa hal penting yang perlu dilakukan adalah optimalisasi peran ushul al fiqh dengan mengembangkan metodologi yang dapat menangkap pesan-pesan etik dan moral, menuju pada keadilan, ketenteraman, dan kesejahteraan individu serta masyarakat. Masalah inilah yang seharusnya menjadi kata kunci dalam pengembangan metodologi Islam saat ini.

Bagaimanapun, agama tidak seharusnya dipahami sebagai konsep hukum dalam arti legal, tetapi harus dipahami sebagai konsep moral atau etika. Memang harus diakui bahwa tidak ada sebuah terminologi yang ekuivalen terhadap apa yang dikenal dengan konsep etika. Secara umum, etika sering dipahami dengan ketentuan tentang baik dan buruknya sesuatu, yang mana prasangka dan perasaan-perasaan tertentu berada di bawah kekuatan moral.

Faktor maslahat
Dalam mengembangkan metode yang menekankan wawasan etis dengan harapan bisa memenuhi maksud di atas, mashlahah sebagai salah satu metode ushul al fiqh selama ini dengan rekonstruksi, perlu dinaikkan derajat dan posisinya menjadi metode sentral ushul al fiqh (Al Manhaj Al Asasiyyah li Ushul Al Fiqh) . Sebab, ternyata semua bentuk pemahaman terhadap teks agama juga didasarkan pada dimensi maslahat, dalam arti untuk meraih kemanfaatan dan/atau untuk menghindarkan kemafsadatan (jalb al mashalih wa dar al mafasid) . Bahkan pun al kulliyyyat al khamsah dalam fikih, menurut satu pendapat dapat diringkas dalam jalb al mashalih.

Meskipun pemahaman atas kemaslahatan yang dimaksudkan oleh penafsir-penafsir maupun mazhab-mazhab, tidaklah seragam, ini menunjukkan betapa maslahat menjadi acuan setiap pemahaman keagamaan. Ia menempati posisi yang sangat penting. Oleh karena nilai maslahat menjadi acuan penting, maka pengembangan dan penempatan metode mashlahat pada posisi sentral metode ushul fikih sangat perlu dipertimbangkan. Talfiq Manhaji, yakni penggabungan/pemakaian selektif metode ushul al fiqh dalam sebuah kasus bisa mengawal operasionalisasi gagasanmanhaj al mashlahah sebagai metode sentral. Karena dalam talfiq manhaji sudah terlihat peran atau optimalisasi ushul al fiqh.

Dalam memposisikan mashlahat sebagai metode sentral ushul al fiqh, perlu dilakukan langkah-langkah berikut. Pertama, kita memposisikan teks, akal, dan konteks/realitas yang lalu dan kekinian secara holistik (melingkar). Dan mashlahat sebagai sentral di dalam lingkaran ini. Kita cari maslahat ini melalui penggalian terhadap teks oleh akal dengan melihat konteks historis maupun konteks kekinian. Atau maslahat bisa digali dari realitas dan dikaitkan dengan teks, dengan melihat substansi-substansi/prinsip-prinsip universalnya. Maslahat yang dilahirkan dari lingkaran ‘kehamilan’ ini berwujud ‘bayi yang suci’ berupa keadilan, kasih-sayang, kedamaian, dan kesejahteraan.

Kedua, yang dijadikan pertimbangan hukum adalah substansi teksnya, bukan bunyi tekstualnya (al ibrah bi al maqashid la bi al alfazh) . Maqashid al syari`ah menempati posisi utama dalam ijtihad. Penguasaan terhadap maqashid al syari`ah ini menjadi salah satu syarat utama bagi mujtahid. Ketiga, dalam menghadapi nash yang berbenturan dengan realitas kekinian, maka yang dilakukan adalah memerankan maslahat atas nash (naskh al nushush bi al maslahah) .

Keempat, dalam menggali dan menebarkan kemaslahatan publik, yang diperlukan adalah melibatkan pelbagai pakar di bidangnya masing-masing, yang hasilnya menjadi sebuah kesepakatan bersama, ijmak. Jadi dalam merumuskan maslahat diperlukan kesepakatan bersama. Mashlahat publik adalah kumpulan dari maslahat personal/domestik. Dengan demikian, fikih akan kembali menyatu dengan wawasan etisnya, yang menjadi landasan bagi perumusan fikih itu sendiri. Dengan begitu, diharapkan fikih benar-benar lebih mampu memenuhi kebutuhan manusia.

Ikhtisar
- Fikih yang kehilangan sentuhan etik menjadi terkesan rigid, kaku, dan legal-formal.
- Wawasan etik sangat diperlukan supaya fikih menjadi selalu aktual dengan konteks Islam rahmatan lil ‘alamin
- Kemashlahatan menempati posisi yang sangat penting agar fikih bisa benar-benar memenuhi kebutuhan manusia

Sumber: Harian Rpeublika

Studi Kritis Jalaluddin Rakhmat Dalam Dialog Syiah di Makassar

Ditulis pada Maret 2, 2009 oleh secondprince

ahlul-bait

Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah tulisan di internet yang berjudul Kesalahan Jalaluddin Rakhmat Terbongkar Dalam Dialog Syiah di Makassar. Saya sedikit kecewa dengan tulisan yang terkesan memojokkan seperti itu. Ditambah lagi ternyata banyak hal yang mesti diluruskan dari tulisan tersebut. Cukup banyak kritikan sok ilmiah yang dilontarkan terhadap Jalaluddin Rakhmat padahal sebenarnya kritikan tersebut bernada cacat karena dipengaruhi syiahpobhia. Silakan dilihat

* Kesalahan Jalaluddin Rakhmat Terbongkar Dalam Dialog Syiah di Makassar
* Kesalahan Jalaluddin Rakhmat Terbongkar Dalam Dialog Syiah di Makassar
* Kesalahan Jalaluddin Rakhmat Terbongkar Dalam Dialog Syiah di Makassar

Perlu diingatkan saya bukanlah siapa-siapa, saya bukan keluarga dari Pak Jalal, saya bukan pula pengikut Pak Jalal dan saya bukan pula murid Pak Jalal. Saya hanyalah pembaca tulisan-tulisan Pak Jalal dan dengan itu tidak berlebihan kalau suatu ketika saya menerima pendapatnya dan menolak pendapatnya di saat yang lain. Dalam tulisan ini juga saya tidak akan membabi buta membela Pak Jalal karena tujuan utama tulisan ini adalah meluruskan kritikan-kritikan yang tidak benar yang hanya dibahas secara sepihak. Tulisan mengecewakan yang akan saya tanggapi disini adalah yang diblockquote. Selamat menilai dengan kritis.

.

.

.

Kesalahan Jalaluddin Rakhmat Terbongkar Dalam Dialog Syiah di Makassar

Ketua Dewan Syura Jamaah Ahli Bait (Ijabi) Indonesia Prof Dr KH Jalaluddin Rakhmat (JR) tampil Sebagai pemateri tunggal dalam Dialog Muballigh dengan tema : “Syiah dalam Timbangan Alquran dan Sunnah”. Kamis Malam, 1 Januari 2009 di hotel horison Makassar.
Dedengkot Syiah Indonesia, yang biasa disapa Kang Jalal ini, memaparkan makalahnya dengan judul “Mengapa Kami Memilih Mazhab Ahlulbait as.?”.
Acara yang dilaksanakan oleh Lembaga Studi dan Informasi Islam (LSII) Makassar , yang diketuai Syamsuddin Baharuddin dan didukung ICC dan Ijabi ini dihadiri tiga asatidzah dari Wahdah, yakni Ust. M. Said Abd.Shamad, Ust. M. Ikhwan AJ, Ust. Rahmat AR dan beberapa ulama, cendekiawan dan muballigh Kota Makassar, di antaranya Prof. Dr. Rusydi Khalid, Prof.Dr. Ahmad Sewang, Prof.Dr. Qasim Mathar, Fuad Rumi, Das’ad Latif, DR.Mustamin Arsyad, MA .
Dalam sesi kedua, dialog yang dipandu oleh pengamat politik Islam UIN DR.Hamdan Juhannis ini, Ustadz Rahmat mendapat kesempatan pertama, mengutarakan argumen.

Untuk mengetahui situasi awal dan siapa-siapa yang ikut dalam dialog tersebut, saya rasa cukup dengan melihat kutipan di atas. Sepertinya ada cukup banyak orang bertitel pintar yang ikut menghadiri dialog tersebut

Ustadz yang merupakan Ketua Lembaga Kajian dan Konsultasi Syariah (LKKS) Wahdah Islamiyah ini, sebelum mengomentari makalah JR, mengatakan bahwa Ahlus Sunnah tidak pernah membenci Ahlul Bait, Ahlussunnah sangat paham terhadap Sunnah dan menjunjung tinggi wasiat Rasulullah untuk mencintai Ahlul Bait.

Saya akui baik syiah maupun ahlussunnah sama-sama mengaku mencintai Ahlul bait tetapi tidak dapat dipungkiri kalau terjadi perbedaan mengenai bagaimana cara mencintai Ahlul bait. Lagipula wahai Ustadz yang baik, wasiat Rasulullah SAW itu tidak hanya agar kita mencintai Ahlul bait tetapi yang jauh lebih ditekankan Rasulullah SAW adalah agar kita umat Islam berpegang teguh kepada Ahlul bait agar tidak tersesat. Nah siapakah yang berpegang teguh pada Ahlul bait, Syiah atau Ahlussunnah?

Dari makalah tersebut, Ustadz memberikan komentar tentang buku acuan yang dituliskan JR, “ini adalah suatu bentuk pengelabuan terhadap data, dalam pembicaraan tentang buku-buku yang diambil acuan ternyata tidak seperti apa yang dituliskan atau kurang menyimpulkan secara sempurna”.

Ustadz itu menuduh JR melakukan pengelabuan terhadap data yang menurutnya tidak terlepas dari dua hal berikut

* Buku yang diambil acuan ternyata tidak seperti apa yang dituliskan
* Kurang menyimpulkan secara sempurna

Mari kita menilai bersama-sama baik JR ataupun Ustadz ataupun para komentator yang lainnya. Apakah mereka sebenarnya bebas dari “pengelabuan” atau malah melakukan “pengelabuan” yang jauh lebih parah. Dalam tulisan tersebut ada 7 tema yang diangkat yaitu

* Pembatasan Ahlul Bait hanya Ali, Fatimah, Hasan dan Husain
* Masalah Kepemimpinan Setelah Rasulullah jatuh ke tangan Ali
* Tidak Mengakui Kedudukan Hadis Perintah Untuk Kembali Kepada “Al Quran dan SunnahKu”
* Mencela dan Melaknat Sahabat Amr bin Ash
* Mengkafirkan Sahabat Muawiyah
* Fatimah Melaknat Abu Bakar
* Kesalahan Fatal Menerjemahkan Penggalan Surah Al Maidah 55 dan Surah Al Ahzab 33

Harap diperhatikan saya hanya menanggapi tulisan tersebut bukan sedang melakukan pembahasan terperinci mengenai tema-tema di atas karena tema-tema di atas terlalu luas untuk diangkat sekaligus dalam satu tulisan.

.

.

.

Pembatasan Ahlul Bait hanya Ali, Fatimah, Hasan dan Husain

Misalnya, tentang pembatasan ahlul bait hanya Ali, Fatimah, Hasan, Husain Radhiyallahu Ajmain yang berkenaan dengan Surah Al Ahzab:33.

Disebutkan dalam makalah JR:
“Masih dari Ummu Salamah: Ayat ini-Sesungguhnya Allah…-turun di rumahku. Aku berkata:Ya Rasululah, bukannkah aku termasuk Ahlulbait?Beliau bersabda:Kamu dalam kebaikan. Kamu termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.. Ia berkata Ahlul bait adalah Ali, Fathimah, Al Hasan dan Al Husain. Kata Ibn Asakir:Hadits ini Shahih (Al Arbain fi Manaqib Ummil Mu’minin 106). Hadits-hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa ahlulbait itu tidak termasuk ke dalamnya istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.”

Hadis yang disebutkan JR memang dengan jelas menyatakan bahwa Ahlul bait dalam penggalan surah Al Ahzab 33 hanyalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain sedangkan istri-istri Rasulullah SAW tidak termasuk dalam hadis tersebut. Saya sendiri sudah membahas panjang lebar mengenai hal ini dalam berbagai tulisan. ini salah satunya Ayat Tathir Khusus Untuk Ahlul Kisa’

Ketua Departemen Dakwah DPP Wahdah ini sambil memegang laptop yang dilengkapi dengan program Maktabah Syamilah (kumpulan ribuan kitab), menegaskan bahwa adanya pembatasan tersebut di atas tidak sesuai dengan apa yang ada dalam syarah Shahih Muslim yang bekenaan dengan hal tersebut. Ketika kita kembali kepada surahAl Ahzab:33, ayat ini justru turun kepada Istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Saya rasa justru Ketua Departemen Dakwah DPP Wahdah ini keliru. JR sedang membahas Al Ahzab 33 dengan mengutip hadis asbabun nuzulnya entah mengapa tiba-tiba Pak Ketua ini malah mengatakan penbahasan JR tidak sesuai berdasarkan syarah Shahih Muslim. Anehnya Pak Ketua ini menegaskan bahwa jika kembali pada surah Al Ahzab 33 maka ayat tersebut turun pada istri-istri Nabi. Metode JR adalah menafsirkan ayat tersebut berdasarkan hadis shahih yang menjelaskan secara langsung siapa Ahlul bait dalam Al Ahzab 33. Hadis shahih yang dikutip JR dengan jelas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sendiri telah menyatakan secara langsung kalau Ahlul bait dalam Al Ahzab 33 adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.

Metode Pak Ketua dengan bersandar pada syarah Shahih Muslim tidaklah kuat karena hadis yang dimaksudkan Pak Ketua itu tidak menyebutkan soal tafsir Ahlul bait dalam Al Ahzab 33 dan lagi hadis yang dimaksud dalam Shahih Muslim menyebutkan pendapat sahabat Nabi Zaid bin Arqam mengenai siapa Ahlul bait. Bagaimana mungkin perkataan Rasulullah SAW bisa dikatakan tidak sesuai karena berbeda dengan perkataan sahabat Nabi. Kemudian Metode Pak Ketua dalam menafsirkan Al Ahzab 33 adalah berdasarkan asumsinya sendiri yang ia lihat dari ayat-ayat sebelumnya sehingga dengan berani ia mengatakan kalau ayat tersebut turun untuk istri-istri Nabi. Metode ini sangat cacat karena telah terbukti ada hadis shahih yang menjelaskan asbabun nuzul Al Ahzab 33 dimana Rasulullah SAW mengatakan kalau Ahlul bait yang dimaksud adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Jadi hadis yang dikutip JR itu adalah bukti kuat pembatasan Ahlul bait oleh Rasulullah SAW sendiri.

Hadits yang menyebutkan pembatasan di atas sebenarnya tidak bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Zaid Ibnu Arqam Radhiyallalu ‘Anhu yang disebut juga dalam penjelasan JR sebelumnya.

Sepertinya Pak Ketua ini mengakui kalau hadis yang dikutip JR memang bermakna pembatasan. Memang hadis yang dikutip JR tidak bertentangan dengan hadis yang memuat perkataan Zaid bin Arqam RA. Mari kita lihat hadis tersebut menurut Pak Ketua

“Said Ibnu Arqam Radhiyallalu ‘Anhu ditanya tentang siapa itu Ahlul Bait, apakah hanya khusus Ali, Fathimah, Al Hasan dan Al Husain? kata beliau Radhiyallalu ‘Anhu, bahwa istri-istri Nabi adalah ahlul bait beliau, kemudian siapa yang diharamkan memakan sedekah, beliau mengatakan alu ja’far, alu atiq, alu Abbas (HR.Muslim).

Kalau memang Pak Ketua itu mengatakan seperti ini maka beliau sudah salah dalam mengutip hadis riwayat Muslim.

* Dalam hadis riwayat Muslim tidak ada kata-kata apakah hanya khusus Ali, Fathimah, Al Hasan dan Al Husain?
* Dalam hadis riwayat Muslim kata-katanya bukan seperti ini kemudian siapa yang diharamkan memakan sedekah, beliau mengatakan alu ja’far, alu atiq, alu Abbas. alu atiq itu siapa ya? :roll:

Penggalan hadis yang dimaksud Ustad itu adalah berikut

Lalu Husain bertanya kepada Zaid” Hai Zaid siapa gerangan Ahlul Bait itu? Tidakkah istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait? Jawabnya “Istri-istri Nabi termasuk Ahlul Bait. Tetapi yang dimaksud Ahlul Bait adalah orang yang tidak diperkenankan menerima sedekah setelah wafat Nabi SAW”, Husain bertanya “Siapa mereka?”.Jawab Zaid ”Mereka adalah Keluarga Ali, Keluarga Aqil, Keluarga Ja’far dan Keluarga Abbas”. Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah (zakat)?” tanya Husain; “Ya”, jawabnya.

Jadi siapakah yang sebenarnya sedang melakukan ”pengelabuan”, bukankah ini bukti bahwa apa yang disampaikan tidak sesuai dengan yang tertulis di buku acuan.

Menurut Ustadz Rahmat bahwa semua itu dari keturunan bani Abdul Muttalib, dan tentu termasuk Istri-istri Nabi, sebab ayat tersebut memang turun untuk mereka.

Setiap Ustadz boleh saja berkata apapun tetapi yang menjadi hujjah kebenaran adalah perkataan Rasulullah bahwa Ahlul bait dalam Al Ahzab 33 adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Kalau perkataan sahabat Nabi saja tidak layak diambil hujjah jika bertentangan dengan perkataan Rasulullah SAW maka apalagi pernyataan seorang Ustadz yang menyelisihi Rasulullah SAW. Kalau memang Ahlul bait dalam Al Ahzab 33 mencakup istri-istri Nabi dan semua keturunan bani abdul muthalib termasuk keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas maka sangat tidak mungkin ketika ayat Al Ahzab 33 turun Rasulullah SAW hanya memanggil Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.

Dari hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa JR hanya mengambil hadits yang mendukung pemahaman Syiah, tanpa melihat hadits shahih yang lainnya, sehingga mengambil kesimpulan pembatasan ahlul bait yang keliru.

Lagi-lagi sebenarnya orang yang mengatakan inilah yang keliru. JR tidak berhujjah dengan hadis Muslim karena memang hadis tersebut tidak sedang mentafsirkan Al Ahzab 33 dan mungkin sekali JR tahu kalau hadis dalam Shahih Muslim itu memuat perkataan Zaid tentang siapa Ahlul bait dan bukan perkataan Rasulullah SAW.

Dengan mudah ia menuduh JR hanya mengambil hadis yang mendukung pemahaman Syiah padahal ia sendiri juga melakukan hal yang sama. Bukankah ia sebelumnya mengutip hadis riwayat Muslim yang ia jadikan hujjah untuk menolak pembahasan JR. Dalam hadis riwayat Muslim ternyata masih ada beberapa hadis yang berada tepat di bawah hadis yang dikutip Ustadz yang menunjukkan kalau istri-istri Nabi bukan Ahlul bait. Inilah bunyi hadisnya

“Kami berkata “Siapa Ahlul Bait? Apakah istri-istri Nabi? .Kemudian Zaid menjawab” Tidak, Demi Allah ,seorang wanita(istri) hidup dengan suaminya dalam masa tertentu jika suaminya menceraikannya dia akan kembali ke orang tua dan kaumnya. Ahlul Bait Nabi adalah keturunannya yang diharamkan untuk menerima sedekah”.

Bagaimana mungkin seseorang dengan laptop yang berisi program Maktabah Asy Syamilah bisa luput melihat hal ini. Sungguh aneh tapi nyata

.

.

.

.

Masalah Kepemimpinan Setelah Rasulullah jatuh ke tangan Ali

Masalah Kepemimpinan Setelah Rasulullah jatuh ke tangan Ali Radhiyallalu ‘Anhu
Contoh kedua, tentang Ayat Wilayah (kepemimpinan) yang tercantum dalam makalah. Disebutkan pemimpin dalam alquran disebut ‘waliy”. Al Quran sudah memberikan petunjuk siapa yang sepatutnya dijadikan pemimpin setelah Allah dan RasulNya: Sesungguhnya pemimpin kamu itu hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat dalam keadaan rukuk (Al Maidah:55). Berkata Ibn Abbas, Al Suddi, Utbah bin hakim dan tsabit bin Abdullah:yang dimaksud dengan orang-orang beriman yang mendirikan salat dan mengeluarkan zakat dalam keadaan rukuk adalah Ali bin Abi Thalib. Seorang pengemis lewat (meminta tolong) dan Ali sedang rukuk di Masjid. Lalu Ali menyerahkan cincinnya (tafsir al Tsa’labi 4:80).

Memang telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih bahwa ayat tersebut berkenaan dengan Imam Ali yang bersedekah dalam keadaan ruku’

Di antara rujukan yang dipakai JR dalam menetapkan sebab turunnya ayat ini adalah Tafsir Ibnu Katsir, namun setelah diperiksa ternyata Ibnu Katsir sendiri melemahkan riwayat yang menyatakan ayat ke 55 ini turun karena Ali ibn Abi Thalib dan menegaskan bahwa sebab turunnya ayat-ayat al-Maidah ini adalah untuk Ubadah ibn as-Shamit Radhiyallalu ‘Anhu.

Dalam melihat kutipan dari suatu kitab, kita memang harus teliti dan bersikap kritis. Ada 3 bentuk cara mengutip yang sering dipakai

* Mengutip riwayat atau hadis dalam suatu Kitab yang ditulis oleh seorang Ulama
* Mengutip pendapat Ulama tersebut terhadap validitas riwayat tersebut
* Mengutip tafsir Ulama tersebut atau pendapatnya mengenai makna hadis tersebut

Jalaluddin Rakhmat mengutip riwayat dalam tafsir Ibnu Katsir sehingga cara mengutip yang ia lakukan adalah yang jenis pertama. Dengan cara ini bukan berarti JR harus mengikuti pendapat Ibnu Katsir yang melemahkan hadis tersebut atau tafsiran dan pendapat Ibnu Katsir mengenai makna ayat tersebut.

Sebelumnya, Ibnu Katsir menjelaskan makna (wa hum raki’un), bahwa kalimat ini bukan menunjukkan keadaan bagi orang yang berzakat sebab jika demikian berarti berzakat dalam keadaan ruku’ lebih afdhal dari berzakat tidak dalam keadaan ruku’ dan tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan akan hal itu. Namun sayang JR tidak menyebutkan komentar Ibnu Katsir untuk sebab turunnya ayat ini, metode penetapan yang dipakai menyiratkan bahwa Ibnu Katsir sepakat dengan mazhab ini padahal itu jauh panggang dari api. (Tafsir Ibnu Katsir, Qs. Al-Maidah:55)

Pendapat Ibnu Katsir jelas didasari oleh penolakannya terhadap hadis yang menyatakan kalau Imam Ali mengeluarkan zakat ketika ruku’. Ibnu Katsir membawakan hadis-hadis tentang ini dan melemahkannya. Sayang sekali tidak semua pendhaifan Ibnu Katsir itu benar. Saya sendiri telah menemukan sanad yang shahih mengenai riwayat ini dalam tafsir Ibnu Katsir. Saya telah membuat tulisan khusus yang membantah pernyataan dhaif dari Ibnu Katsir. Jadi JR berhujjah dengan hadis atau riwayatnya dan bukan berhujjah dengan Ibnu Katsir.

.

.

.

.

Tidak Mengakui Kedudukan Hadis Perintah Untuk Kembali Kepada “Al Quran dan SunnahKu”

Tidak Mengakui Kedudukan Hadits perintah untuk kembali kepada “Al Qur’an dan Sunnahku”.
Terakhir, komentar Ustadz Rahmat, tentang hadits kembali pada Al Quran dan Assunnah yang didhaifkan. Sayang JR tidak kembali ke perkataan al-Albani sebagaimana kuatnya, ia merujukkan hadits al-Qur’an dan al-Ithrah ke beliau, padahal al-Albani menshahihkan keduanya. (Hadits al-Kitab dan Sunnahku dishahihkan dalam Shahih at-Targib wat Tarhib, Hadits No. 40)

Begini wahai Ustadz Rahmat, Penentuan shahih tidaknya hadis bukanlah ditentukan semata-mata melalui otoritas seseorang seperti Syaikh Al Albani. Selalu ada alasan atau dasar untuk menilai apakah hadis tersebut shahih atau tidak yaitu dengan melihat sanad-sanadnya. Hadis Al Qur’an dan Al Ithrah diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat atau terpercaya sehingga adalah wajar kalau Syaikh Al Albani menshahihkan hadis tersebut sedangkan hadis kembali kepada Al Quran dan Sunnahku diriwayatkan oleh para perawi dhaif, matruk bahkan pendusta. Oleh karena itu penshahihan Syaikh Al Albani terhadap hadis kembali pada Al Quran dan SunnahKu adalah tidak benar. Saya sendiri sudah membahas hal ini dalam tulisan yang khusus.

* Analisis versi mikro hadis “Al Qur’an dan SunnahKu”
* Analisis versi makro hadis “Al Qur’an dan SunnahKu”

Sebagai catatan bagi anda wahai Ustadz , seorang Ulama Alawy Habib Hasan bin Ali As Saqqaf telah mengkritik Syaikh Al Albani dalam salah satu tulisannya Shahih Sifat Shalat An Naby, beliau telah menyatakan kalau hadis Al Quran dan Al Ithrah adalah shahih sedangkan hadis Al Quran dan Sunnahku adalah maudhu’ atau palsu. Pada akhirnya bagi seorang Ustadz yang memiliki ilmu hadis yang cukup akan dengan mudah menerima adanya gejala seperti ini. Sangat umum sekali dalam berbagai kitab hadis seseorang terkadang berhujjah dengan pendapat satu Ulama dan menolaknya di saat yang lain karena pada prinsipnya kebenaran bukanlah terletak pada Ulama itu sendiri melainkan terletak pada apa dasar-dasar dari pendapat ulama tersebut.

Hadits Itrati kalau dilanjutkan dalam As-Shahihah al-Albani sangat jelas mengatakan orang-orang Syiah menggunakan hadits ini untuk membenarkan mazhab Rafidhah dan hal itu sama sekali tidak benar, tidak seperti itu, beliau bantah dalam kitab tersebut, bahkan dalam mukaddimah kitab tersebut.

Tentu saja sangatlah wajar bagi seorang Syaikh Salafy seperti Syaikh Al Albani untuk membantah Syiah. Bantah membantah adalah hal yang biasa dalam dunia permahzaban. Bagi orang yang memang berniat mencari kebenaran maka yang harus ia lakukan adalah menilai apa dasar seorang ulama mengatakan hal tersebut bukan dengan seenaknya bertaklid buta atau menerima hujjah siapa saja yang ia kehendaki. Bagi saya kata-kata Syaikh yang menolak orang-orang Syiah berhujjah dengan hadis Tsaqalain adalah tidak bermakna sama sekali. Mahzab Syiah tegak dengan dasar berpegang teguh pada Ahlul bait sehingga literatur hadis mereka dipenuhi dengan hadis-hadis Itrah Ahlul bait jadi klaim Syiah yang berpegang pada hadis Tsaqalain memiliki bukti nyata.

Kitab lain yang dipakai oleh JR dalam membenarkan mazhabnya adalah Kitab as-Shawaiq al-Muhriqah karangan Ibnu Hajaral-Haitami, justru kitab itu untuk membantah Syiah, judulnya adalah: as-Shawaiq al-Muhriqah fi ar-Raddi ala Ahli ar-Rafdhi wa ad-Dhalali wa az-Zandaqah , ini bantahan Syiah yang “menuhankan” Ahlul Bait, namun sayang JR tidak jujur dalam mengambil pendapat-pendapat penulis.

Saya pribadi tidak tahu dimana letak ketidakjujuran JR dalam mengutip kitab As Shawaiq. Bagi para peneliti bukanlah hal yang sulit untuk mengetahui kalau kitab Ash Shawaiq adalah kitab yang membantah Syiah. Secara metodologis sangat tidak ada salahnya orang syiah manapun untuk mengutip hadis-hadis dalam As Shawaiq atau mengutip penshahihan Ibnu Hajar Al Haitsami terhadap suatu hadis dalam As Shawaiq walaupun orang syiah sendiri tidak menerima uraian Ibnu Hajar tentang mahzab mereka. Ketidakjujuran hanya bisa dikatakan jika JR memang membuat kutipan yang salah dari As Shawaiq sedangkan sikap berhujjah misalnya dengan penshahihan Ibnu Hajar tetapi menolak penafsiran Ibnu Hajar adalah hal yang sah sah saja. Seorang Ulama ahlussunnah terkadang ketika membantah syiah mereka tidak bisa menafikan kalau hadis yang dijadikan hujjah oleh Syiah adalah hadis yang shahih sehingga yang bisa mereka lakukan sedapat mungkin untuk membantah syiah adalah dengan membuat tafsiran sendiri dan mengatakan kalau pemahaman syiah terhadap hadis tersebutlah yang keliru.

“Seandainya ada waktu mengecek semua riwayat ini (dalam makalah JR), saya yakin bahwa riwayat-riwayat dalam buku tersebut, tidak seperti yang diinginkan Kang Jalal dalam Istidlalnya,” tegas Ustadz menutup komentarnya.

Silakan saja, bila perlu anda wahai Ustadz membuat buku khusus yang membantah JR sehingga kami yang jauh-jauh ini berkesempatan untuk melihat hasil pengecekan anda dan melihat sejauh mana apa yang anda sebut “tidak seperti yang diinginkan Kang Jalal”.

Pada kesempatan kedua, Ustadz Muh.Said Abd.Shamad, Lc mengutarakan komentarnnya. Ketua Dewan Syariah WI ini diawal pembicaraannya mengusulkan agar pembicaraan ini tuntas, “ Biar sampai jam 1 malam saya siap, karena kita mencari kebenaran,” katanya.

Jalaluddin Rakhmat sudah banyak membuat buku-buku dan siapapun bisa mempelajari dan mengkritiknya. Jadi anda wahai Ustadz memiliki banyak sekali waktu untuk membahas tulisan-tulisan Kang Jalal demi mencari kebenaran
.

.

.

.

Mencela dan Melaknat Sahabat Amr bin Ash

Mencela dan Melaknat Sahabat Amr bin Ash

Pada sisi yang lain, Ustadz mengingatkan tulisan Supha Atana pada konferensi Syiah di Makassar beberapa waktu lalu, yang berjudul “Mahzab Cinta dan Akhlak” yang banyak memuji JR sebagai Ulama dan Cendikiawan yang paling intens membicarakan dan menganjurkan Mahzab Cinta dan Akhlak. Supha Atana yang sekarang Pimpinan Iran Corner Unhas mengatakan juga bahwa andaikata tidak karena cinta dan akhlak maka setiap hari kita akan mengkafirkan orang lain.

Intinya gampang sekali, kita tidak perlu memaksakan apapun pandangan kita terhadap orang lain. Perbedaan pandangan itu wajar karena manusia pada dasarnya memiliki cara berpikir yang bermacam-macam tetapi adalah tidak wajar kalau kita dengan mudahnya mengkafirkan orang lain karena pandangan yang dianutnya kita nilai salah atau keliru. Yang benar katakan benar dan yang salah cukup anda benarkan dengan kata-kata atau kritikan yang objektif dan sewajarnya.

Dan dalam forum malam ini JR mengemukakan hadits yang menurutnya sudah banyak dilupakan oleh kaum muslimin, yaitu bahwa darah kamu, harta kamu dan kehormatan kamu diharamkan dan tidak boleh dirusak. Ungkapan di atas sangat bertolak belakang sekali dengan tulisan JR dalam bukunya terbitan 2008 yang lalu yang sangat mempermalukan dan mengkafirkan Sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Dalam buku tersebut JR menyebut Sahabat Amr bin Ash Radhiyallahu Anhu sebagai anak haram yang tidak diketahui bapaknya secara pasti dan dia sangat banyak dilaknat oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Siapa yang dilaknat oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berarti dilaknat oleh Allah.

Dalam hal ini saya sendiri tidak sepakat dengan JR. Walaupun memang ada riwayat-riwayat dimana Rasulullah SAW pernah melaknat Amr bin Ash tetapi pada akhirnya Amr bin Ash memeluk Islam dan menjadi sahabat Rasulullah SAW.

Ternyata kitab rujukan JR adalah kitab golongan Syiah yang memang sangat membenci Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sangat banyak memalsukan keterangan-keterangan dengan dalil-dalil yang lemah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga Imam Syafii mengatakan bahwa golongan yang paling berani dan paling banyak membuat kepalsuan dan dusta ialah golongan Syiah.

Kalau memang begitu maka tidak ada yang perlu anda risaukan wahai Ustadz. Kitab Syiah pada titik tertentu memang memuat informasi yang berbeda cukup tajam dengan kitab Sunni. Perbedaan ini berakar cukup lama dan salah satu penyebabnya adalah perbedaan persepsi terhadap para penyampai informasi tersebut. Syiah mengatakan bahwa seseorang tertentu diterima riwayatnya sedangkan Sunni menolaknya begitu pula sebaliknya. Melakukan generalisasi dengan mengatakan bahwa kitab golongan Syiah adalah palsu jelas berlebihan dan hanya merupakan tuduhan yang tendensius. Seorang syiah malah bisa mengatakan hal yang sama bahwa Kitab golongan Sunni sangat banyak memalsukan keterangan demi kepentingan Bani Umayyah. Bagi saya argumen-argumen seperti ini tidak ada nilainya sama sekali. Dalam berdiskusi kita tidak perlu menghiasi argumen kita dengan tuduhan yang malah membuat risuh tetapi cukup dengan bukti.
.

.

.

.

Mengkafirkan Sahabat Muawiyah

Mengkafirkan Sahabat Muawwiyah Radhiyallahu ‘Anhu
Selanjutnya, JR menulis tentang Sahabat Muawwiyah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa dia itu bukan saja fasik bahkan Kafir menurut riwayat versi Syiah. Ustadz Said sangat tersinggung akan hal tersebut.

Tentu saja dalam riwayat versi Syiah anda tidak akan menemukan cerita yang baik soal Muawiyah, seharusnya anda sudah bisa memakluminya wahai Ustadz. Kalau memang anda tersinggung maka saya katakan mungkin orang Syiah juga tersinggung ketika musuh-musuh Ahlul bait begitu dimuliakan oleh sebagian orang Sunni. Lagi-lagi tersinggung atau tidak itu bukan urusan yang penting dalam mencari kebenaran.

Kata Ustadz, Muawiyah, iparnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan penulis wahyunya. Mungkinkah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memilih orang yang berjiwa kafir sebagai Penulis Wahyu? Juga Muawiyah Radhiyallahu ‘Anhu ditunjuk oleh Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu dan sesudahnya Khalifah Utsman juga menunjuk sebagai Gubernur di Syam. Bahkan beliau menjabat sebagai Khalifah sesudah Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘Anhu sekitar 20 tahun. Beliau meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebanyak 130 (lihat Nushatul Muttaqin Syarah Riyadul Shalihin Hal.1330).

Terlepas dari kontroversi soal apakah Muawiyah memang seorang penulis wahyu maka saya akan menjawab pertanyaan Ustadz Mungkinkah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memilih orang yang berjiwa kafir sebagai Penulis Wahyu?. Kenyataannya saya tidak tahu apakah benar Nabi SAW memilih Muawiyah atau tidak tapi ada dalil shahih yang mengatakan bahwa seorang penulis wahyu bisa menjadi seorang yang kafir dan mendapat azab dari Allah SWT.

Dan ternyata Muawwiyah Radhiyallahu ‘Anhu telah didoakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: Ya Allah jadikanlah iya orang yang memberi petunjuk, orang mendapat petunjuk dan berilah petunjuk manusia dengannya (Hadits Shahih riwayat at Tirmidzi). Begitu banyak kelebihan Muawiyah yang tidak dapat disebut satu per satu dapat kita lihat diantaranya dalam kitab al ‘awashim min al qawasim hal.202-210 karangan al Qadhi Abi Bakr al Arabi

Mengenai doa Rasulullah terhadap Muawiyah, saya sendiri sudah membahasnya secara khusus dan menurut saya hadis tersebut dhaif dan begitu pula keutamaan Muawiyah yang lain. Silakan dilihat

* Kedudukan Hadis “Ya Allah Jadikanlah Muawiyah Seorang Yang memberi Petunjuk”
* Kedudukan hadis “Ya Allah Anugerahkanlah Muawiyah Al Kitab dan Al hisab”

Ustadz boleh saja mengutip Ibnu Arabi tetapi orang lain juga bisa mengutip Ishaq bin Rahawaih, An Nasa’I dan Al Hakim yang mengatakan dengan jelas bahwa hadis-hadis keutamaan Muawiyah adalah palsu.

Bukan itu saja bahkan JR menulis dari sumber yang sama bahwa Muawiyah itu tidak senang mendengar nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu disebut dalam Adzan dan menganggapnya sebagai tanda bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sangat ambisius karena tidak senang kecuali namanya digandengkan dengan nama Allah Rabbul Alamin.

Dalam hal ini saya tidak bisa berkomentar, karena saya tidak menemukan adanya referensi yang bisa dirujuk.

Beginikah Mahzab cinta dan akhlak?dan beginikah menjaga kehormatan kaum muslimin?

Saya pribadi membedakan antara pandangan yang dianut atau diyakini dengan sikap yang mesti ditampilkan. Kita bisa saja berbeda pandangan bahkan dengan ekstrim menolak pandangan tertentu tetapi bukan berarti kita bebas menghina atau mengkafirkan siapapun yang berbeda pandangan dengan kita. Menuliskan sebuah riwayat yang terkesan mendiskreditkan tokoh-tokoh tertentu yang kita agungkan tidak bisa dikatakan langsung sebagai merusak kehormatan kaum musli. Misalnya

* Kalau memang begitu lantas apa yang akan kita katakan mengenai hadis-hadis tertentu seperti Shahih Bukhari yang bagi sebagian orang mendiskreditkan para Nabi, salah satu contohnya adalah hadis Nabi Musa yang berlari dengan telanjang untuk mengejar bajunya yang dibawa lari sebongkah batu.
* Dan apa yang akan kita katakan mengenai para sejarawan seperti Ath Thabari, Al Mas’udi, Abul Fida’ dan Ibnu Ishaq yang banyak memuat kisah-kisah yang bagi sebagian orang mendiskreditkan sahabat Nabi. Akankah kita mengatakan kalau para sejarawan itu tidak menjaga kehormatan kaum muslimin.

“Kami, Pak Jalal, sangat sakit hati kalau keluarga kami dicela, apalagi dikatakan anak haram, dan dikafirkan. Tapi kami lebih sakit hati lagi kalau Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dikatakan anak haram, tidak ditau orangtuanya, dikatakan kafir,” Ungkap Ustadz dengan nada sedikit tinggi.

Bisa dimaklumi, tapi wahai Ustadz anda bukanlah satu-satunya yang punya perasaan sakit hati. Mereka yang bermahzab Syiah juga sakit hati dan tidak rela jika musuh-musuh Ahlul bait atau mereka yang menzhalimi Ahlul bait dimuliakan dan diangkat tinggi kedudukannya di dalam islam. Jadi kalau hanya menuruti siapa yang sakit hati maka masalah yang sensitive seperti ini tidak akan bisa dibahas dengan objektif.

Lanjut Ustadz, Kalau tulisan JR yang berdasarkan keterangan yang lemah tersebut diterima, berarti kita mendustakan al Quran dan Hadits yang Shahih yang sangat banyak memuji para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan juga dapat berdampak kita meragukan al Qur’an yang telah dikumpulkan oleh para Sahabat dan juga menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mampu mendidik para Sahabatnya dengan baik. Naudzu Billahi min Dzalik dan sangat mengherankan JR sampai hati menulis tentang Sahabat dengan secara keji.

Penarikan kesimpulan yang dilakukan Ustadz tidak koheren dan hanya bertopang pada pengandaian Ustadz sendiri. Ketika Syiah mengkritik sahabat mereka tidak sedang mendustakan Al Qur’an bahkan mereka mengutip Ayat Al Qur’an yang menunjukkan bahwa di antara mereka yang bersama Nabi di Madinah terdapat orang yang munafik dimana Nabi sendiri tidak mengetahuinya. (jika diasumsikan bahwa orang-orang disekeliling Nabi dan penduduk Madinah termasuk Sahabat Nabi)

Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar. (At Taubah 101)

Jadi Syiah tidak sedang mendustakan Al Quran dan hadis Shahih. Apalagi terdapat hadis shahih dan mutawatir yang mengatakan bahwa sebagian sahabat-sahabat Nabi nanti dicegah untuk bertemu dengan Nabi di Al Haudh karena mengada-adakan hal baru selepas kematian Rasul SAW. Jadi dasar Syiah dalam hal ini ada, bukan berarti saya membenarkan Syiah tetapi saya katakan Syiah dan JR tidaklah sekeji seperti yang anda katakan. Lagipula bukankah JR tidak mengecam semua sahabat , beliau baru memvonis dua orang sahabat yaitu Amr bin Ash dan Muawiyah

Ustadz sempat membacakan surah al Fath ayat 29: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir”, Imam Malik mengatakan, orang-orang Syiah yang benci terhadap Sahabat adalah orang kafir berdasarkan ayat ini.

Inilah bedanya Syiah dengan Sunni, syiah walaupun secara ushuli memiliki perbedaan keyakinan soal Imamah dengan Sunni mereka tidak pernah menunjuk-nunjuk atau mengatakan kalau Sunni atau ahlussunnah adalah orang kafir. Hal ini cukup kontras dengan sebagian Ulama Sunni dan Ulama Salafy yang mengkafirkan Syiah. Ayat yang Ustadz kutip di atas tidak memuat dalil yang jelas bahwa mereka yang membenci sahabat adalah orang kafir. Yang saya tangkap dari hadis di atas adalah Mereka yang bersama Muhammad adalah kaum muslimin yang keras terhadap orang kafir dan berkasih saying dengan sesama mereka dan hal inilah yang menjengkelkan hati orang-orang kafir. Menafsirkan bahwa orang yang bersama Nabi dalam ayat ini adalah seluruh sahabat Nabi kurang tepat karena di ayat Al Quran yang lain disebutkan kalau diantara mereka yang bersama Nabi di Madinah juga terdapat orang-orang munafik.
.

.

.

.

Fatimah Melaknat Abu Bakar

Fathimah Melaknat Abubakar Radhiyallahu ‘Anhu (Pada akhirnya dikatakan Rasulullah dan Allah Melaknat Abubakar)
Dalam buku kecil yang memuat ceramah Asyura, JR mengatakan bahwa Fatimah Radhiyallahu ‘Anha telah mengutuk Abubakar Radhiyallahu ‘Anhu karena tidak memberikan kepadanya harta peninggalan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Hal tersebut dibenarkan oleh JR berdasarkan hadits bahwa Fathimah itu adalah bahagian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Apa yang menjadikan Fathimah murka berarti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga akan murka dan melaknatnya dan apa yang dilaknat oleh Rasul berari dilaknat oleh Allah. Lalu JR membaca ayat surat al ahzab ayat 58.

Masalah Fadak ini pun saya sudah membahasnya secara khusus. Bisa dibilang saya tidak akan banyak bicara karena bagi saya sudah cukup kebenaran itu berada pada Sayyidah Fatimah Alahissalam. Perkara siapa yang dilaknat itu sangat tidak penting bagi saya.

Ustadz Said mengatakan bahwa sebenarnya Abubakar Radhiyallahu ‘Anhu tidak memberikan harta peninggalan tersebut karena berdasarkan hadits yang shahih bahwa para Nabi itu tidak diwarisi, harta yang dia tinggalkan adalah menjadi sedekah (Hadits Bukhari Muslim).

Hadis shahih belum tentu benar. Mengapa begitu? Karena jika hadis tersebut bertentangan dengan Al Qur’an dan hadis shahih lain maka hadis tersebut sudah jelas keliru. Pendapat saya dalam hal ini Abu Bakar keliru dalam memahami hadis tersebut dan sudah seharusnya ia mengembalikan permasalahan ini kepada Ahlul bait yang merupakan tempat Umat Islam termasuk Abu Bakar sendiri untuk berpegang teguh agar tidak tersesat.

Dan dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Fathimah telah memaafkan Abubakar Radhiyallahu ‘Anhu diahir hayatnya, setelah Abubakar datang menjenguknya dan meminta ridhanya (Hadits Riwayat Baihaqi dengan sanad yang kuat, lihat albidayah wa al Nihayah Juz V Hal.253)

Sayang sekali wahai Ustadz, hadis ini dhaif dan entah mengapa dalam perkara yang berbau Syiah, seorang Ulama sunni tidak kritis dalam menilai hujjah yang menguatkan pendapatnya. Hadis Baihaqi di atas adalah hadis mursal dan bertentangan dengan hadis shahih dalam Shahih Bukhari sehingga tidak diragukan kalau status hadis ini dhaif bahkan dalam salah satu kajian teman saya ia mengatakan kalau hadis ini palsu.

Di akhir sesi dialog, Ustadz Said dengan lantang menantang JR untuk berdiskusi pada waktu yang lain dan menegaskan bahwa Sunni-Syiah tidak akan mungkin dapat dipertemukan. Alasannya karena Sunni sangat menghormati Sahabat Abubakar, Umar, dan Ustman dan Ali Radhiyallahu ‘Anhu Ajmain, sedangkang Syiah hanya mengakui Syaidina Ali Radhiyallahu ‘Anhu dan sangat mencerca tiga sahabat sebelumnya serta menganggap bahwa melaknat seluruh Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selain ahli bait dan pengikutnya, sebagai ibadah

Wahai Ustadz, memangnya mau dipertemukan seperti apa?. Cukuplah bagi Sunni-Syiah untuk berdialog secara objektif dan ilmiah serta tidak perlu melibatkan emosi sendiri. Jika seandainya tetap berbeda maka sudah cukuplah perbedaan itu tanpa diiringi sikap mengkafirkan atau merendahkan mahzab lain.

* Syiah memang mengakui Imam Ali itu benar
* Syiah sangat mencerca tiga sahabat sebelumnya mungkin benar mungkin juga tidak
* Syiah menganggap bahwa melaknat seluruh sahabat Nabi selain Ahlul bait dan pengikutnya sebagai ibadah, saya rasa ini tidak benar.

Lain halnya dengan Ustadz Ikhwan yang menjadi penanggap berikutnya, Ustadz memulai dengan sedikit nostalgia pada masa SMU, terkesan dengan buku karangan JR yang berjudul Islam Alternatif, “lama-kelamaan saya menyadari barangkali yang dimaksud JR Islam alternatife itu adalah Syiah”, ungkap Ustadz dengan nada bertanya.

Tidak masalah, baik Sunni ataupun Syiah adalah islam.

Komentar Wakil Ketua Umum DPP WI ini selanjutnya, tentang ketertarikannya dengan ungkapan JR mengenai orang Syiah yang ahlul wara wal wafa, orang yang obyektif dan adil dalam memberi penilaian. Ustadz sedikit terusik, dikatakan JR dalam bukunya bahwa Imam Adzahabi menulis Mizanul I’tiqadi untuk memberi komentar kepada perawi dhaif.

Lanjut Ustadz, justru dalam mukaddimah Mizanul I’tiqadi diungkapkan bahwa, Imam Adzahabi mengatakan “saya tidak mengatakan semua yang saya sebutkan dalam buku saya, adalah perawi-perawi dhaif, tetapi orang-orang yang dianggap dhaif”. Maka dapat dikatakan itu adalah mizan (timbangan), apakah benar itu dhaif atau tidak.

Kalau memang JR dalam bukunya menulis seperti yang Ustadz itu katakan maka memang benar JR keliru. Kitab Mizan Al ‘I tidal Dzahabi adalah timbangan keadilan para perawi bukan kitab yang memuat para perawi dhaif.

“Makanya saya semakin terusik lagi ketika sempat membaca kitab al Mustafa pada bagian masa muda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Pak Jalal di situ mengomentari seseorang yang sangat terkenal, Sufyan Ats Sauri disebut :yudallis (mengelabui) wayaktubu anil kadzabin (pembohong). Saya merasa terheran-heran karena sebelumnya saya pernah membaca tahzibut tahdzib Ibnu hajar, sebagian ulama mengatakan bahwa beliau adalah amirul mukminin fil hadits. Di buku Mizanul I’tidal Di buku Mizanul I’tidal, ternyata Sufyan Ats Tsauri adalah al Hujjah Ats Sabtu (Sumber yang dipercaya), ada kata yang tidak dimasukkan kang jalal, saya tidak tahu apakah itu kutipan langsung atau kutipan antara dari kitab sirah an nabi al a’dham.

Terlepas dari benar tidaknya kutipan JR itu, ustadz sebenarnya tidak perlu terheran-heran karena jika Ustadz menggeluti dengan baik kitab rijal para perawi maka Ustadz akan menemukan banyak contoh seperti itu. Dimana sebagian perawi yang dinilai tsiqah oleh sebagian ulama telah dinyatakan dhaif oleh ulama yang lain. Contoh yang mungkin akan membuat Ustadz terheran-heran adalah Muhammad bin Ishaq bin Yasar, penulis kitab Sirah yang terkenal. Beliau dinyatakan oleh Imam Malik sebagai dajjal dan dinyatakan sebagai pendusta oleh sebagian Ulama (Sulaiman At Taimi, Hisyam bin Urwah, Yahya bin Sa’id). Padahal sebagian Ulama lain(Syu’bah) malah menyebutnya sebagai amirul mukminin fil hadits. Silakan terheran-heran

Dikatakan bahwa: Laa ‘ibrata liman qala innahu yudallis (mengelabui) wayaktubu anil kadzabin, yang artinya : tidak ada atau tidak dianggap (ini kata yang tidak dimasukkan), orang yang mengatakan bahwa ats Tsauri melakukan tadlis dan menulis dari orang-orang dusta. Sekali lagi saya tidak tahu dan saya tidak ingin menghakimi di sini apakah Pak Jalal menyengajakan diri mengutip atau tidak membaca”, terang Pengurus MUI Kota Makassar ini.

Sederhananya ya berarti JR keliru, tidak sulit untuk mengatakan itu tapi yang sulit adalah mengatakan kalau JR sengaja melakukan kekeliruan untuk menipu orang awam

Senada dengan Asatidzah Wahdah, Dr.Hj.Amrah Kasim, MA, Dosen UIN Alauddin Makassar di awal komentarnya menyatakan penolakannya terhadap ajaran Syiah. Lulusan Al Ahzar Kairo ini pernah menanyakan ke Ulama-ulama Al Ahzar, kenapa referensi Syiah tidak diajarkan di kampus yang dikenal menara ilmu ini. Lalu Ulama-ulama Al Ahzar menjawab: “Ya Binti, nahnu nuhibbu Rasulallah wa Ahlal Bait, wa lakin laa natasyayya’ ,” disambut teriakan Alllahu Akbar dari beberapa peserta, artinya: kami mencintai Rasulullah dan Ahlul Bait dan kami tidak bersyiah. “Sikap saya seperti itu juga, saya mencintai Rasulallah, Ahlul Bait tapi saya tidak bersyiah,” tegas yang mengaku Azhary ini di dalam forum itu.

Kami disini juga mencintai Rasulullah dan Ahlul bait dan sebagian diantara kami bersyiah dan sebagian tidak. Bagi saya mau bersyiah atau tidak itu tidak penting karena fokus utama adalah berpegang teguh pada Ahlul bait.
.

.

.

.

Kesalahan Fatal Menerjemahkan Penggalan Surah Al Maidah 55 dan Surah Al Ahzab 33

Kesalahan Fatal Menerjemahkan Penggalan Surah Al Maidah:55 dan Surah Al Ahzab:33
Yang kedua, yang dikomentari Direktur Pesantren Putri IMMIM Makassar ini setelah menyimak buah-buah pikiran JR. Kesalahan fatal JR dalam penerjemahan surah al Maidah:55 dalam penggalan ayat, …innama waliyyukum…. “ , suatu kekeliruan menerjemahkan innama menjadi sesungguhnya. “innama itu, tidak bisa diterjemahkan sesungguhnya di situ, itulah salah satu perilaku orang Syiah dalam membelokkan makna ayat untuk kepentingannya,” jelas istri Doktor Tafsir Al Ahzar, DR.Mustamin Arsyad MA ini.

Kalau memang innama itu tidak bisa diterjemahkan sesungguhnya maka apa terjemahan yang tepat wahai Ustadzah. Lagipula maaf, anda terlalu tendensius dalam menuduh. Jika Syiah mengartikan innama sebagai sesungguhnya maka itu tidak berarti Syiah membelokkan makna ayat demi kepentingannya. Apa yang akan anda katakan wahai Ustadzah mengenai terjemahan Al Quran versi Departemen Agama yang sudah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Bukankah dalam terjemahan versi Depag kata innama pada kedua ayat tersebut diterjemahkan dengan kata-kata sesungguhnya. Apakah anda wahai Ustadzah akan berani pula mengatakan Departemen Agama itu membelokkan makna ayat demi kepentingan mereka.

Berikutnya, yang fatal sekali, tidak dimasukkannya Istri Nabi dalam Ahlul Bait. “Keluarnya zaujati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Ahlul Bait, saya pikir ini adalah suatu kekeliruan besar (disambut ucapan Allahu Akbar dari Ustadz Said). Saya banyak mengkaji buku-buku Syiah, memang metodenya sama, banyak membelok-belokkan makna ayat, “ tegasnya lagi.

Metodenya sederhana yaitu Tafsir bil Matsur atau mentafsirkan suatu ayat sebagaimana Rasulullah SAW mentafsirkan. Jika Rasulullah mengatakan kalau Ahlul bait dalam Al Ahzab 33 adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain maka itulah yang benar. Kalau Rasulullah SAW menolak istri-istri Nabi sebagai Ahlul bait dalam al Ahzab 33 maka itulah yang benar. Berkaitan dengan tafsir Al Ahzab 33 maka saya katakan Syiah tidak membelokkan makna ayat tetapi mereka memahami sesuai dengan apa yang Rasulullah SAW tetapkan.

Sementara itu, JR dalam jawabannya mengakui kesalahannya, termasuk tanggapannya terhadap Dr. Hj. Amrah, tentang kesalahannya dalam menerjemahkan Al Qur’an surat Al Maidah: 55, JR minta maaf.

Saya tidak tahu apakah benar JR meminta maaf?, Yang saya tahu justru Ustadzah itulah yang keliru soal penerjemahan Al Maidah 55. Jadi kalau JR sepakat dengan Ustadzah tersebut saya pun akan menyatakan JR keliru.

Sebagai kesimpulan dari dialog tersebut, JR yang terpojok dialog ini akhirnya berkilah kalau dirinya bukan syiah, “Saya cinta ahlul bait, dan Saya tidak jadi Syiah, (lalu dilanjut) tapi Syiah menurut definisi saya, dan itu definisi yang diajarkan oleh para iman ahlul bait kami,” kilah JR. Meskipun dari ucapan itu dapat dipahami hanyalah kedok semata, sebab selama ini JR selalu mengagung-agungkan mazhab Syiah, termasuk banyak mengangkat referensi syiah, bahkan JR dianggap sebagai pelopor Syiah di Indonesia.

Jalaluddin Rakhmat Syiah atau bukan itu tidak masalah. Menjadi Syiah tidak membuat anda menjadi rendah begitu pula mengaku Syiah tidak membuat anda menjadi mulia. Cukuplah kebenaran itu tidak bermahzab dan Syiah ataupun Sunni hanyalah sebuah nama dimana didalamnya bisa terdapat kebenaran dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda.

Sebagai penguat, kami kutip dua sms dari salah seorang tokoh dan pengamat Islam yang hadir malam itu ke asatidzahWahdah:

“TADI MALAM, IJABI LAKSANA MULAI MENGGALI LUBANG KUBURNYA SENDIRI. MESKIPUN TAMPAKNYA MEREKA TDK MENYADARI DAN BOLEH JADI JUSTRU SEBALIKNYA.”

Yah perkataan seperti ini tidak ada gunanya sama sekali. Apakah mereka tidak melihat kalau sebenarnya para pengkritik JR sendiri juga tidak terlepas dari kritik.

“ ALHAMDULILLAH. SAYA TERINGAT, SEBGMNA KETIKA BUKU ISLAM ALTERNATIF DITIMBANG O/ORG DEWAN DAKWAH, KETIDAKJUJURAN (KELICIKAN?) KG JALAL SEMALAM, KEMBALI TERULANG-PAMER REFERENSI. TAPI MENGUTIP SEC TIDAK FAIR. SMOGA KG JALAL MAU MENYADARINYA. WALLAHU A’LAM”

Kang Jalal bukan orang yang selalu benar. Beliau bisa saja melakukan kekeliruan atau kesalahan. Tapi bukan berarti setiap kesalahan dengan mudahnya dikatakan ketidakjujuran atau kelicikan. Kata-kata buruk seperti ini memerlukan bukti yang kuat kalau tidak mau dikatakan memfitnah. Bagi saya pamer referensi masih jauh lebih baik daripada pamer tuduhan kasar dan kritikan-kritikan kosong.

Kepada para pengagum dan pengikut JR agar tidak menelan mentah-mentah pemikiran JR, yang banyak mengambil dalil dan pendapat Ulama Ahlussunah secara sepotong-potong yang “menguntungkan” mazhabnya sendiri, namun perkataan yang membantah mazhab tersebut dari ulama yang sama tidak akan dikutip bahkan meskipun datang dalam konteks dan rujukan yang sama. Semoga Allah menunjuki kita semua jalan yang lurus dan mengembalikan ke jalan lurus itu orang-orang yang tersesat dan menyimpang.

Kepada siapapun anda wahai pembaca baik Syiah ataupun Sunni maka sudah seharusnya anda menilai setiap dalil atau pendapat Ulama siapapun dengan kritis dan objektif. Siapaun Ulama baik Syiah ataupun Sunni, mereka semua berhak mendapat tempat yang sama untuk dinilai secara kritis. Bukan berarti karena Syiah maka dengan gampangnya ia dituduh tidak jujur atau karena ulama tersebut adalah ahlussunnah maka ia seolah tidak pernah salah. Ingatlah kebenaran itu pada dasarnya tidak memihak. Wassalam

.

.

Catatan

* Tidak disangka tulisan ini cepat sekali di-ACC
* Rasanya ini tulisan dengan link terbanyak :mrgreen:
* Buat seseorang, saya tunggu Risalah versi makronya :)
* Sudah lama juga tidak menulis “kritik Syiahpobhia” :)


12 Responses to “Studi Kritis Jalaluddin Rakhmat Dalam Dialog Syiah di Makassar”

1.
ressay, di/pada Maret 2nd, 2009 pada 7:02 pm Dikatakan:

Nampaknya ada 1 lagi bung yang perlu kau tanggapi.

http://ahmadbobby.multiply.com/journal/item/17
2.
satriasyiah, di/pada Maret 2nd, 2009 pada 7:41 pm Dikatakan:

masih dalam proses
3.
armand, di/pada Maret 2nd, 2009 pada 9:03 pm Dikatakan:

“Kami, Pak Jalal, sangat sakit hati kalau keluarga kami dicela, apalagi dikatakan anak haram, dan dikafirkan. Tapi kami lebih sakit hati lagi kalau Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dikatakan anak haram, tidak ditau orangtuanya, dikatakan kafir”, Ungkap Ustadz dengan nada sedikit tinggi.”

I’tikad mereka sering kali terbalik. Jika sahabat saja mereka sakit hati bila ada yg mengkafirkan, maka bukankah penisbatan kafir ke keluarga dekat nabi saw justru harusnya bahkan lebih dari itu?
Apakah mereka tidak menyadari bahwa mereka pun telah berani mengkafirkan ayah bunda Rasul saw dan paman Beliau Abu Thalib? Entah dimana adanya sakit hati mereka ini ketika meriwayatkan kekafiran ketiga keluarga dekat Rasul saw ini?

Jadi janganlah mencoba-coba untuk pamer sakit hati wahai Ustadz
4.
hadi, di/pada Maret 3rd, 2009 pada 5:50 am Dikatakan:

Mereka mempunyai pola berfikir yg aneh. ..namun itulah warna akidah mereka…bela ’sahabat’ mati2an tanpa peduli kebenaran.
Ketika kritikan terhadap ’sahabat’ dibuat berdasarkan dalil dari sumber mereka…mereka melemahkan atau menakwilnya(bila tidak mampu melemahkannya) namun ketika keluarga Nabi dibela, spt mempertahankan Abu Thalib dan ibubapa Nabi saaw dari kekafiran…dgn segera mereka berkata…’ini disebut oleh hadis’.
Dan mereka mendakwa mencintai Ahlul Bait Nabi saaw? Pesan2 nonverbal mereka lebih dipercayai ketimbang pesan verbal.
Dan mereka berasa sakit hati bila ’sahabat2′ ini digugat? Apa mereka tidak terfikir bahawa Nabi saaw lebih sakit hati apabila keluarga baginda saaw dikafirkan?
5.
F@T_L, di/pada Maret 3rd, 2009 pada 6:14 am Dikatakan:

Saudara oh saudaraku…. Panggilkan saudaraku… Dimanakah saudaraku….
:(
6.
armand, di/pada Maret 3rd, 2009 pada 8:23 am Dikatakan:

@satriasyiah

(Tidak) sabar menunggu
7.
sand, di/pada Maret 3rd, 2009 pada 4:56 pm Dikatakan:

Yg menjadi sumber permasalahan adalah ketika umat Islam terpisahkan dari hadis Tsaqalain dan Ghadir Khum selama berabad-abad lamanya. Dan pemahaman ahlusunnah waljama’ah timbul ketika terbunuhnya Imam Ali as, yg kemudian oleh Muawiyah disebut dengan tahun kemenangan (jama’ah). Maka lahirlah apa yg disebut ahlusunnah waljama’ah, sehingga ada hadis-hadis tandingan yang berkenaan dengan Ahlubait Nabi SAW yg disucikan dalam QS Al Ahzab 33.

Salam
8.
F@T_L, di/pada Maret 4th, 2009 pada 8:20 am Dikatakan:

http://freepages.genealogy.rootsweb.ancestry.com/~naqobatulasyrof/news/ris001.htm

*Katanya datang dari Mufti Besar Johor
9.
sand, di/pada Maret 4th, 2009 pada 9:09 pm Dikatakan:

@F@T_L

Sudah saya pahami link dari anda dan dapat diambil kesimpulan bahwa tulisan tsb diperkirakan asal mulanya dari Misi Zending kaum Yahudi untuk menjauhkan umat Islam yg mayoritas kepada Tsaqalain dan Ghadir Khum.

Salam
10.
F@T_L, di/pada Maret 5th, 2009 pada 1:04 am Dikatakan:

Salamun’alaika

:) Itukan sepertimana hujjah yang dibawakan oleh @Imem, @antirafidah dah juga @ al furqon

Yang saya ketahui?… Siapa yang menfatwakan “Rafidhah” itu kafir.

“RAFIDHAH”
Apakah takrifnya dari segi bahasa ?
dan Apakah takrifnya dari istilah syarak ?

Dapatkan jawapan ‘tuk saya. Barangkali saya telah ketinggalan dalam hal ini.
Barangkali juga, @Pemerhati di”izinkan” berkongsi pengetahuan sebegini dgn saya…

Sejujurnya Hujjah sebenar-benar Hujjah adalah Para Rasul, Para Nabi dan Para Imam s.a.

wa alhamdulillahir Rabbil’alamin
11.
ytse jam, di/pada Maret 6th, 2009 pada 12:18 am Dikatakan:

Orang2 seperti para ustadz diatas banyak di dunia ini (jangan tertipu dengan sederet gelarnya, gelar seabreg itu tidak menjamin mereka itu telah berada diatas petunjuk Ilahi, toh hampir 100% koruptor di negeri ini berderet gelarnya). Kalo nggak ada orang seperti mereka, neraka yang diperuntukkan bagi pendusta bertopeng agama akan kosong di akhirat nanti), karena memang hati mereka telah dibutakan oleh fanatisme ke-mazhab-an tentunya mereka menerapkan standar ganda dalam berhujjah. Ketika ada hadis dalam kitab hadis yang mereka akui sahih seperti Bukhari dan Muslim yang memukul telak tengkuk mazhab mereka sendiri, dengan nada koor mereka melemahkannya atau menakwilkannya dengan bersandar pada ulama2 mereka yang terkadang juga jahil dalam berkomentar, dan bila mereka menemukan keganjilan2 dalam kitab Syiah mereka akan membesar-besarkan masalah itu tanpa mau peduli walaupun ulama2 Syiah telah menolak kesahihan beritanya.
Pada dasarnya mereka lebih senang merusak Agama daripada membelanya.
12.
ytse jam, di/pada Maret 6th, 2009 pada 12:42 am Dikatakan:

Kata SP:
Siapapun Ulama baik Syiah ataupun Sunni, mereka semua berhak mendapat tempat yang sama untuk dinilai secara kritis. Bukan berarti karena Syiah maka dengan gampangnya ia dituduh tidak jujur atau karena ulama tersebut adalah ahlussunnah maka ia seolah tidak pernah salah. Ingatlah kebenaran itu pada dasarnya tidak memihak.

Kata saya:
Benar sekali..!
Di rak buku saya lumayan banyak buku2 yang ditulis oleh kedua mazhab ini, setelah membacanya, sementara ini kesimpulan saya, (tanpa bermaksud memojokkan mazhab manapun) bahwa tidak ada penulis dari kedua belah pihah yang benar2 100% jujur.
Kesimpulan sementara saya, buku Syiah2 lumayan lebih jujur daripada buku2 Sunni. Maaf, ini hanya kesimpulan pribadi.