Kamis, 05 Maret 2009

Fikih Berwawasan Etika

Ditulis pada Juli 14, 2007 oleh kajianislam

Kamis, 05 Juli 2007

Fikih Berwawasan Etika

Oleh :

Said Aqiel Siradj
Ketua PBNU

Fikih pada mulanya mempunyai arti lebih luas dari yang umumnya dipahami saat ini. Semula, sesuai dengan arti lughawi-nya, fikih bermakna al fahmu, paham atau mengetahui. Memahami atau mengetahui baik yang berkaitan dengan urusan tauhid/teologi, tasawuf/akhlak, maupun hukum. Namun, kemudian akibat perkembangan ilmu dan pergumulan pemikiran, fikih menciut artinya dari yang semula mencakup aspek teologis, akhlak dan hukum, kepada perihal hukum saja. Akibatnya, fikih lebih bernuansa legal-formal, daripada etis atau sosial. Sebab, sifat hukum adalah mengikat/memaksa. Inilah kemudian yang menyebabkan fikih terkesan rigid, kaku, tidak fleksibel. Dalam arti fikih kehilangan wawasan etisnya.

Wawasan etik
Fikih sendiri sebagai salah satu produk manusia, tentunya tidak terlepas dari sifat pengetahuan atau ilmu yang menerima pengembangan lebih lanjut. Ia tidaklah absolut, namun nisbi. Artinya, fikih dapat dikritik bahkan dirombak total, akibat tidak selaras lagi dengan misi pembebasan manusia (rahmatan li al `âlamîn).

Inilah faktor yang merupakan kelemahan dasar dalam memandang agama selama ini. Islam hanya dipandang semata-mata sebagai teks verbal dan bukan pada wawasan etiknya. Gagasan untuk menyatukan kembali antara fikih dan etika atau fikih dan teologinya pernah dilontarkan Fazlurrahman, seorang pemikir Islam progresif. Gagasan untuk menyatukan kembali antara fikih dan wawasan etis ini penting, sebab, sepertinya fikih itu asyik kita geluti sebagai yang terpisah atau terisolasi dari wawasan etis (wawasan yang bersifat etika) yang merupakan landasan etis dari fikih itu sendiri.

Dengan kata lain, untuk memperbarui pemahaman Islam, khususnya fikih, adalah dengan menghidupkan kembali wawasan etik ini. Oleh karena itu, agar fikih dapat memberikan jawaban yang selaras dengan cita-cita kemanusiaan, sangat perlu dibangun sebuah fikih yang berwawasan etis atau melandaskan fikih pada maqashid syari’ah (tujuan diterapkannya suatu hukum).

Maqashid syari’ah telah dikenal luas dalam ushul al fiqh. Namun, pengembangan maqashid, dalam bentuk contoh-contoh konkret dalam konteks kekinian masih sangat terbatas dan belum begitu luas. Misalnya dalam menanggapi masalah prostitusi. Bagaimana fikih melihat masalah ini dalam konteks negara. Dalam hal ini, bukan sekadar menelorkan keputusan hukum/fatwa haram, tapi bagaimana memandang masalah prostitusi berkaitan dengan masalah sosial dan ekonomi. Bila sekadar fatwa haram kemudian berujung pada pemberantasan dan pemusnahan prostitusi, tentu kurang etis. Tapi bagaimana meminimalisasi praktik prostitusi besar-besaran dengan bentuk penyediaan lapangan pekerjaan dan memberikan pelatihan kerja dengan intensif.

Dengan melihat faktor di balik praktik prostitusi itu, kita akan melahirkan semisal bentuk lokalisasi dan pembinaan kerja pada para pelacur. Maslahat yang tampak adalah tidak mematikan kerja mereka secara ‘kejam’, tapi meminimalisasi dan berusaha mengalihkan kepada bentuk kerja yang lebih bermartabat dan menjanjikan. Jadi, hukum fikih dalam kasus tersebut menjadi bisa bernuansa humanis, membebaskan, dan transenden/bermartabat. Ini visi fikih etis, dengan mendasarkan pada metode maslahat.

Satu contoh lagi misalnya, bagaimana fikih memandang masalah korupsi dan hukumannya. Jika mendasarkan pada wawasan etis, maka korupsi dihukumi sebagai kejahatan besar/dosa besar karena merugikan masyarakat dan bahkan negara. Hukumannya pun bisa melebihi pencurian. Bukan cuma dengan hukum menakutkan, tapi misalnya bila kelak mati, jasadnya jika ia Muslim tidak dishalati. Tapi bagaimana sebelum ajalnya, ia telah merasakan sanksi hukuman yang tegas. Di mana hal ini bisa menjadi pelajaran baginya agar tidak mengulangi dan bagi orang lain agar tidak mencontohnya. Ini bila dijalankan secara serius akan membawa ketenteraman dan bisa menciptakan good governance dan memberi secercah harapan akan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Dampak yang diakibatkan tindakan korupsi sangatlah luas.

Jadi, memperhatikan hal tersebut berupa hal penting yang perlu dilakukan adalah optimalisasi peran ushul al fiqh dengan mengembangkan metodologi yang dapat menangkap pesan-pesan etik dan moral, menuju pada keadilan, ketenteraman, dan kesejahteraan individu serta masyarakat. Masalah inilah yang seharusnya menjadi kata kunci dalam pengembangan metodologi Islam saat ini.

Bagaimanapun, agama tidak seharusnya dipahami sebagai konsep hukum dalam arti legal, tetapi harus dipahami sebagai konsep moral atau etika. Memang harus diakui bahwa tidak ada sebuah terminologi yang ekuivalen terhadap apa yang dikenal dengan konsep etika. Secara umum, etika sering dipahami dengan ketentuan tentang baik dan buruknya sesuatu, yang mana prasangka dan perasaan-perasaan tertentu berada di bawah kekuatan moral.

Faktor maslahat
Dalam mengembangkan metode yang menekankan wawasan etis dengan harapan bisa memenuhi maksud di atas, mashlahah sebagai salah satu metode ushul al fiqh selama ini dengan rekonstruksi, perlu dinaikkan derajat dan posisinya menjadi metode sentral ushul al fiqh (Al Manhaj Al Asasiyyah li Ushul Al Fiqh) . Sebab, ternyata semua bentuk pemahaman terhadap teks agama juga didasarkan pada dimensi maslahat, dalam arti untuk meraih kemanfaatan dan/atau untuk menghindarkan kemafsadatan (jalb al mashalih wa dar al mafasid) . Bahkan pun al kulliyyyat al khamsah dalam fikih, menurut satu pendapat dapat diringkas dalam jalb al mashalih.

Meskipun pemahaman atas kemaslahatan yang dimaksudkan oleh penafsir-penafsir maupun mazhab-mazhab, tidaklah seragam, ini menunjukkan betapa maslahat menjadi acuan setiap pemahaman keagamaan. Ia menempati posisi yang sangat penting. Oleh karena nilai maslahat menjadi acuan penting, maka pengembangan dan penempatan metode mashlahat pada posisi sentral metode ushul fikih sangat perlu dipertimbangkan. Talfiq Manhaji, yakni penggabungan/pemakaian selektif metode ushul al fiqh dalam sebuah kasus bisa mengawal operasionalisasi gagasanmanhaj al mashlahah sebagai metode sentral. Karena dalam talfiq manhaji sudah terlihat peran atau optimalisasi ushul al fiqh.

Dalam memposisikan mashlahat sebagai metode sentral ushul al fiqh, perlu dilakukan langkah-langkah berikut. Pertama, kita memposisikan teks, akal, dan konteks/realitas yang lalu dan kekinian secara holistik (melingkar). Dan mashlahat sebagai sentral di dalam lingkaran ini. Kita cari maslahat ini melalui penggalian terhadap teks oleh akal dengan melihat konteks historis maupun konteks kekinian. Atau maslahat bisa digali dari realitas dan dikaitkan dengan teks, dengan melihat substansi-substansi/prinsip-prinsip universalnya. Maslahat yang dilahirkan dari lingkaran ‘kehamilan’ ini berwujud ‘bayi yang suci’ berupa keadilan, kasih-sayang, kedamaian, dan kesejahteraan.

Kedua, yang dijadikan pertimbangan hukum adalah substansi teksnya, bukan bunyi tekstualnya (al ibrah bi al maqashid la bi al alfazh) . Maqashid al syari`ah menempati posisi utama dalam ijtihad. Penguasaan terhadap maqashid al syari`ah ini menjadi salah satu syarat utama bagi mujtahid. Ketiga, dalam menghadapi nash yang berbenturan dengan realitas kekinian, maka yang dilakukan adalah memerankan maslahat atas nash (naskh al nushush bi al maslahah) .

Keempat, dalam menggali dan menebarkan kemaslahatan publik, yang diperlukan adalah melibatkan pelbagai pakar di bidangnya masing-masing, yang hasilnya menjadi sebuah kesepakatan bersama, ijmak. Jadi dalam merumuskan maslahat diperlukan kesepakatan bersama. Mashlahat publik adalah kumpulan dari maslahat personal/domestik. Dengan demikian, fikih akan kembali menyatu dengan wawasan etisnya, yang menjadi landasan bagi perumusan fikih itu sendiri. Dengan begitu, diharapkan fikih benar-benar lebih mampu memenuhi kebutuhan manusia.

Ikhtisar
- Fikih yang kehilangan sentuhan etik menjadi terkesan rigid, kaku, dan legal-formal.
- Wawasan etik sangat diperlukan supaya fikih menjadi selalu aktual dengan konteks Islam rahmatan lil ‘alamin
- Kemashlahatan menempati posisi yang sangat penting agar fikih bisa benar-benar memenuhi kebutuhan manusia

Sumber: Harian Rpeublika

Tidak ada komentar: